PENGUJIAN HADIS ÂHÂD DENGAN QIYÂS
DI KALANGAN ULAMA AHNÂF
Diajukan untuk Dipresentasikan pada Mata Kuliah
Metode Kritik Hadis
Oleh
Ahmad Zakiy
NIM. 088 121737
Dosen Pembimbing
Prof. Dr. Edi Safri
KONSENTRASI TAFSIR HADITS PROGRAM PASCASARJANA
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
IMAM BONJOL PADANG
2013 M/1434 H
PENGUJIAN HADIS ÂHÂD DENGAN QIYÂS
DI KALANGAN ULAMA AHNÂF
I. PENDAHULUAN
Banyaknya persoalan yang berkaitan dengan hadis, mengharuskan para ahli hadis (muhadditsîn) mulai membuat kriteria pengujian hadis. Pertama, hadis diuji validitasnya dari mata rantai pembawanya (sanad), apakah sanadnya bersambung (muttashil), periwayatnya ‘adil dan dhâbith. Kedua, diuji pula redaksinya (matan), apakah hadis tersebut mengandung cacat (‘illat) atau kejanggalan (syadz).[1] Tetapi para ahli fiqh (fuqahâ) yang berkepentingan menggunakan hadis sebagai sumber hukum, tidak berhenti pada pengujian yang ditetapkan oleh muhadditsîn. Mereka menambah beberapa kriteria pengujian lagi sehingga hadis betul-betul diyakini sebagai sesuatu yang bersumber dari Nabi dan dapat dijadikan sebagai hujjah.
Persoalan semakin kompleks ketika dihadapkan dengan hadis yang tidak sampai ke tingkat mutawâtir; hadis itu disebut hadis âhâd. Kekuatan hukum hadis mutawâtir, menurut kesepakatan para ulama, adalah qath’i. Adapun kekuatan hukum hadis âhâd, apabila berstatus shahîh, hanya bersifat zhanni.[2] Terhadap hadis mutawâtir, tidak terdapat perbedaan pendapat para ulama tentang kebolehannya dijadikan dasar dalam menetapkan hukum. Akan tetapi dalam menjadikan hadis âhâd sebagai landasan hukum, para ulama berbeda pendapat: ada yang menerimanya tanpa syarat dan ada yang ketat dengan mengemukakan beberapa syarat.[3] Ulama Ahnâf, misalnya, mereka mengemukakan beberapa syarat (kriteria) agar hadis âhâd dapat dijadikan landasan hukum, salah satunya adalah bahwa perawi hadis itu merupakan seorang faqîh (ahli fiqh), dan hadis âhâd itu tidak bertentangan dengan qiyâs.[4] Qiyâs di sini maksudnya menghubungkan kejadian yang tidak ada nash atau teks hukumnya kepada kejadian lain yang ada nashnya, karena ‘illat kejadian itu sama.[5]
Untuk mengetahui bagaimana kriteria ulama Ahnâf ini, penulis akan membahasnya lebih lanjut dalam sebuah makalah yang berjudul “Pengujian Hadis Âhâd dengan Qiyâs di Kalangan Ulama Ahnâf.” Penulis akan mengawali pembahasan ini dengan penjelasan umum tentang qiyâs, kemudian pembahasan tentang pengujian hadis âhâd dengan qiyâs di kalangan ulama Ahnâf disertai ketidak konsistenannya, dan diakhiri dengan beberapa contoh hadis âhâd yang tidak diterima oleh ulama Ahnâf.
II. PEMBAHASAN
A. Qiyâs
1. Sejarah Kronologis Pertumbuhan Qiyâs
Qiyâs sebagai salah satu metode penetapan hukum, secara kronologis historis dipetakan menjadi dua kelompok, yaitu: pertama, qiyâs sebelum masa Syâfi’i, di mana formulasi qiyâs belum baku, ia masih dalam bentuknya yang bebas sebagai suatu penalaran liberal[6] dalam menentukan suatu hukum. Qiyâs ini tidak terpaku pada syarat-syarat yang ketat yang membatasinya dari berfikir liberal, spekulatif, dan dinamis dalam menentukan masalah. Qiyâs sebagai penalaran hukum ini lazim disebut juga dengan istilah ra’yu. Ia berlaku mulai pada masa Rasulullah dan semakin matang pada masa Abû Hanîfah.[7]
Implikasi dari pemberlakuan qiyâs semacam ini, menimbulkan hukum Islam yang dinamis, liberal, dan akomodatif terhadap perubahan zaman. Hal ini karena hukum Islam tidak harus selalu terpasung dalam bayang-bayang teks zhahir (haqîqah al-lafzh) dari al-Qur’an dan al-Sunnah, yang sudah barang tentu hanya memuat sesuatu yang terbatas.[8]
Kedua, qiyâs pada masa Syâfi’i dan setelahnya, yaitu qiyâs yang sudah terkodifikasi dan terformulasikan dengan baku. Qiyâs model ini mempunyai syarat-syarat yang ketat, baku, dan kaku, sehingga sudah tidak menjadi penalaran hukum yang bebas dan aktual, melainkan tunduk di bawah bayang-bayang teks-teks agama, yakni al-Qur’an, al-Sunnah, dan ijma’. Qiyâs model ini dimulai pada masa Syâfi’i, yang diformulasikan pertama kali dalam al-Risâlah hingga ulama ushul sekarang.[9]
Qiyâs yang pada masa sebelum Syâfi’i dipahami sebagai penalaran bebas dalam mencari hukum, pada masa Syâfi’i menjadi sangat sempit, yaitu perbandingan dua hal yang sejajar karena keserupaannya, yang secara teknis dikenal dengan nama sebab hukum (‘illat al-hukm). Lebih dari itu, pengqiyâsan ini harus didasarkan pada nash al-Qur’an dan al-Sunnah. Artinya, qiyâs tidak bisa independen, tetapi harus mengikuti kemauan nash keagamaan (nushûsh al-syarî’ah).[10] Dengan kata lain, penggunaan qiyâs pada masa-masa awal, cukup kreatif dan mampu sebagai solusi untuk menyelesaikan masalah hukum, tetapi setelah qiyâs tersistematisasikan menjadi metode yang rumit, ia kehilangan kreatifitas dan kedinamisannya sebagai prinsip literal hukum.[11]
2. Definisi Qiyâs
Secara etimologi, qiyâs berasal dari bahasa Arab yang merupakan bentuk mashdar dari kata قاس-يقيس-قياسا, artinya: "تقدير شيء بشيء آخر" (mengukur sesuatu dengan yang lain). Misalnya: "قست الأرض بالمتر"(saya mengukur tanah dengan meteran). Qiyâs juga berarti "مقارنة شيء بغيره" (membandingkan sesuatu dengan yang lain). Di dalam penggunaannya, qiyâs mengalami perkembangan makna menjadi "التسوية بين الشيئين" (menyamakan antara dua perkara).[12]
Adapun arti qiyâs secara terminologi menjadi perdebatan ulama, antara yang mengartikan qiyâs sebagai metode penggalian hukum yang harus tunduk pada teks-teks agama, yakni jumhur ulama, dan yang mengartikan qiyâs sebagai sumber hukum yang berdiri sendiri di luar teks-teks keagamaan (al-Qur’an dan al-Sunnah), yaitu al-Âmidi dan Ibn Hâjib.[13]
Sebagai konseptor awal kaidah-kaidah qiyâs, Syâfi’i sebenarnya tidak memberikan definisi yang gamblang secara teknik formal, akan tetapi dari beberapa keterangannya tentang qiyâs, dapat disimpulkan bahwa qiyâs menurut Syafi’i adalah: “metode atau penetapan nilai hukum yang berusaha mencari ketetapan hukum tentang situasi baru yang tidak diungkap oleh nash dengan menerapkan ketetapan hukum yang telah diungkap oleh nash, jika ia mempunyai sebab yang sama.”[14]
Pada masa selanjutnya, ulama ushul pasca Syâfi’i (w. 204 H) sampai Fakhr al-Dîn al-Râzi (w. 606 H), banyak mendefinisikan qiyâs dengan bahasa yang berbeda, namun pada dasarnya sama substansinya dengan qiyâs yang dimaksudkan oleh Syâfi’i. Beberapa definisi qiyâs yang muncul pada masa itu di antaranya adalah:
حمل معلوم على معلوم في إثبات حكم لهما أو نفيه عنهما بأمر جامع بينهما عن حكم أو صفة.
“Qiyâs adalah menyesuaikan (haml) suatu kasus yang sudah diketahui hukumnya dengan kasus lain yang belum diketahui hukumnya berdasarkan sifatnya yang sama.”
Abû Husein mendefiniskan qiyâs dengan tiga definisi, yaitu:
تحصيل حكم الأصل في الفرع لاشتباههما في علة الحكم عند المجتهد.
“Qiyas berarti menemukan (tahshîl) hukum kasus asal dalam kasus serupa karena kesamaan sebab hukum (‘illat) antara keduanya dalam pandangan ahli hukum”.
إثبات نقيض حكم الأصل في الفرع باعتبار العلة.
“Qiyas berarti menetapkan (itsbât) hukum sesuatu dengan memperhatikan sebab akibat (ta’lîl) sesuatu yang lain”.
إثبات الحكم في الشيء بالرد إلى غيره لأجل العلة.
“Qiyas berarti menetapkan (itsbât) hukum sesuatu dengan mengambalikan (radd) sesuatu itu kepada yang lain berdasarkan sebab hukum”.
تعدية حكم من الأصل إلى الفرع بعلة متحدة لا تعرف بمجرد اللغة.
“Qiyâs adalah memberlakukan (ta’diyyah) hukum asal kepada hukum far’ disebabkan kesatuan ‘illat yang tidak dapat dicapai melalui pendekatan bahasa saja.”
رد الفرع إلى الأصل بعلة جامعة بينهما و يحتاج إلى إثبات مقدمتين
Mengembalikan (radd) kasus serupa ke kasus asal berdasarkan idea tau alasan yang menyatukan keduanya dan mengharuskan kesamaan ketetapan hukum bagi keduanya.”
إبانة مثل حكم معلوم لمعلوم آخر لاشتباههما في العلة.
“Mengungkapkan (ibânah) hukum yang sama dengan hukum salah satu dari dua kasus tertentu berdasarkan kesamaan sebabnya yang efektif tentang kasus lain.”
إثبات مثل حكم معلوم لمعلوم آخر لأجل اشتباههما في علة الحكم عند المثبت.
“Menetapkan (itsbât) keserupaan kasus hukum yang diketahui kepada kasus lain karena kesamaan sebab menurut mujtahid yang menetapkannya”
Definisi-definisi qiyâs yang berkembang sampai al-Râzi ini menggunakan kalimat menyamakan (ilhâq), menyesuaikan (al-haml), menetapkan (itsbât), memberlakukan (al-ta’diyyah), mengungkapkan (al-ibânah), mengembalikan (radd), dan menemukan (tahshîl). Implikasi yang ditimbulkan dari penggunaan kata-kata ini bagi terminologi qiyâs adalah qiyâs berarti hasil karya mujtahid dalam menetapkan hukum. Artinya hukum yang dimunculkan oleh seorang mujtahid, hanyalah cabang (far’) yang mengikuti sumber utama (ashl), yaitu al-Qur’an.[21] Dengan kata lain, qiyâs hanya berfungsi sebagai metode penggalian hukum saja, tidak sampai menjadi sumber hukum Islam.
Selanjutnya ulama ushul pasca Fakhr al-Dîn al-Râzi, semisal Sayf al-Dîn al-Âmidi (w. 632 H) dan Ibn al-Hâjib (w. 646 H), memberikan definisi qiyâs baru yang berbeda dari pendahulunya. Keduanya berpendapat bahwa qiyâs bukanlah metode penetapan hukum, tetapi sumber hukum yang berdiri sendiri seperti al-Qur’an dan al-Sunnah. Menurut mereka, definisi qiyâs selama ini, semenjak masa Syâfi’i hingga al-Râzi, tidak selaras dengan hakikat dan semangat qiyâs yang merupakan penalaran bebas dalam menetukan hukum yang tidak harus berada di bawah bayang-bayang teks al-Qur’an dan al-Sunnah. Menurut mereka, definisi qiyâs yang menggunakan kata-kata menyamakan (ilhâq), menyesuaikan (haml), menetapkan (itsbât), memberlakukan (ta’diyyah), mengungkapkan (ibânah), mengembalikan (radd), dan menemukan (tahshîl), tidak tepat karena akan membatasi makna qiyâs hanya sebagai metode penetapan hukum saja.[22]
Berdasarkan ini, maka al-Âmidi mendefinisikan qiyâs dengan:[23]
عبارة عن الاستواء بين الفرع و الأصل في العلة المستنبطة من حكم الأصل.
“Penyamaan (istiwâ’) antara kasus serupa dengan kasus asal berdasarkan sebab yang diambil dari hukum kasus asal.”
Sedangkan Ibn Hâjib mendefinisikan qiyâs sebagai berikut:[24]
مساوة فرع الأصل في علة حكمه.
“Penyamaan (musâwah) kasus serupa dengan kasus asal berdasarkan sebab ketetapan hukumnya.”
Beberapa definisi yang berbeda di atas menunjukkan bahwa definisi qiyâs selalu mengalami perkembangan. Karena qiyâs dikembangkan melalui tingkatan-tingkatan, maka menjadi sulit bagi fuqaha untuk sepakat dalam satu definisi. ‘Abd al-Malik al-Juwayni mengatakan bahwa definisi qiyâs yang sebenarnya tidak mungkin dilakukan karena ia terdiri dari berbagai relaitas (haqâ’iq), seperti hukm al-ashl yang abadi, kasus ashl, kasus far’, dan rasio logis (‘illat).[25]
B. Pertentangan antara Hadis Âhâd dan Qiyâs
Jika terjadi pertentangan antara hadis âhâd dan qiyâs, maka ada beberapa pendapat ulama:[26]
a. Jika ‘illat hukum qiyâs dibangun atas nash yang qath’î, sedangkan hadis âhâd tidak demikian, maka wajib beramal dengan qiyâs, tanpa ada sedikitpun perbedaan pendapat ulama. Sebab bersandar pada nash ‘illat (qiyâs) pada hakikatnya sama dengan bersandar pada nash hukumnya. Dalam hal ini hadis âhâd tidak boleh bertentangan dengan ‘illat (qiyâs).
b. Jika ‘illat (qiyâs) dibangun atas nash yang zhannî yang bisa mengakibatkan pertentangan, maka beramal dengan hadis âhâd lebih diutamakan daripada qiyâs, sesuai dengan kesepakatan ulama. Sebab hadis âhâd indikasi hukumnya terlihat secara langsung, sedangkan indikasi hukum ‘illat (qiyâs) membutuhkan perantara (proses).
c. Jika ‘illat (qiyâs) diperoleh dari sumber asal yang zhannî, maka berpegang pada hadis âhâd lebih diunggulkan tanpa ada perbedaan pendapat ulama. Sebab persepsi (zhann) dan interpretasi (ihtimâl) yang lebih sedikit, maka itu yang lebih diutamakan sandarannya, dan hal itu ada pada hadis âhâd.
d. Jika ‘illat (qiyâs) diperoleh dari sumber asal yang qath’î, sementara hadis âhâd bertentangan dengan qiyâs, maka di sinilah letak perbedaan pendapat ulama.
Dengan kata lain, qiyâs yang dibangun atas nash yang qath’î, yakni misalnya suatu hukum telah dinash dengan suatu nash yang qath’î, demikian juga mengenai ‘illat hukumnya berupa nash yang qath’î pula, maka qiyâs yang didasarkan pada nash yang qath’î tersebut sifatnya juga qath’î. Adapun hadis âhâd bersifat zhannî, maka bentuk qiyâs seperti ini harus didahulukan daripada hadis âhâd. Sebab mendahulukan qiyâs tersebut pada hakikatnya sama dengan mendahulukan nash yang qath’î dari nash yang zhannî.
Tetapi kebalikannya, jika qiyâs tersebut didasarkan pada dalil yang zhannî, maka yang harus didahulukan adalah hadis âhâd. Sebab keberadaan qiyâs tersebut melibatkan persepsi dan interpretasi dari segala segi. Persepsi dan interpretasi ini tampak pada saat proses penggalian ‘illat, lalu difungsikan sebagai sumber asal sebagai sandaran qiyâs. Dengan demikian kedudukan qiyâs tersebut menjadi zhannî sebagaimana hadis âhâd. Oleh karena itu, qiyâs tersebut tidak bisa diunggulkan.
1. Pengujian Hadis Âhâd Dengan Qiyâs di Kalangan Ulama Ahnâf
Telah diuraikan sebelumnya bahwa yang menjadi perdebatan di kalangan ulama adalah masalah qiyâs yang ‘illat hukumnya diperoleh dari sumber (ashal) yang qath’iy. Dalam hal ini, Syafi’i, Ahmad, Abû al-Hasan al-Karkhiy, jumhur ulama hadis dan mayoritas ulama fiqh tetap mendahulukan hadis âhâd daripada qiyâs, baik perawi hadis tersebut faqîh (ahli fiqh) atau tidak. Namun tidak demikian halnya dengan ulama Ahnâf, mereka berpandangan sebagai berikut: [27]
- Jika perawi hadis âhâd adalah seorang yang faqîh, maka riwayatnya dapat dijadikan hujjah dan wajib diamalkan, baik hadis tersebut sesuai dengan qiyâs ataupun tidak. Jika hadis tersebut sesuai dengan qiyâs, berarti qiyâs menjadi penguat bagi hadis. Dan jika hadis tersebut bertentangan dengan qiyâs, maka qiyâs diabaikan dan yang diamalkan adalah hadis.
- Namun jika diketahui perawi hadis âhâd tersebut ternyata tidak faqîh, maka yang didahulukan adalah qiyâs, dan hadis âhâd diabaikan.
Dari keterangan di atas dapat dipahami bahwa pada dasarnya ulama Ahnâf tidak menolak hadis âhâd, baik bertentangan dengan qiyâs maupun tidak, asalkan perawi hadis âhâd adalah seorang yang faqîh. Namun mereka tidak hanya mencukupkan itu; mereka mengemukakan syarat tambahan, yaitu: perawi hadis adalah seorang yang faqîh. Para perawi yang faqîh itu, menurut ulama Ahnâf, antara lain adalah al-Khulafâ’ al-Râsyidîn, Zaid ibn Tsabit, Mu’adz ibn Jabâl, Abû Mûsa al-Asy`ari dan ‘Âisyah,[28] maka hadis âhâd yang diriwayatkan oleh perawi-perawi tersebut diterima dengan baik oleh ulama Ahnâf. Lain halnya apabila perawi hadis itu bukan seorang faqîh dan hadis itu bertentangan dengan qiyâs, maka ulama Ahnâf tidak menerima hadis tersebut.
Sedangkan para perawi yang bukan ahli fiqh, menurut mereka, antara lain Abû Hurairah, Anas ibn Mâlik, Salmân al-Fârisi dan Bilâl ibn Rabâh. Meskipun sahabat-sahabat Nabi itu dhabith, `adil dan hafizh, namun mereka bukan orang-orang yang ahli fiqh. Apabila riwayat mereka sejalan dengan qiyâs atau umat Islam sepakat dengannya maka riwayatnya diterima. Kalau tidak, maka qiyâs lebih diutamakan bila dalam hal yang logis (dapat dinalar).[29] Namun sayangnya ulama Ahnâf tidak konsisten dalam hal ini. Mereka tetap menerima hadis âhâd yang diriwayatkan oleh Abû Hurairah (menurut ulama Ahnâf Abû Hurairah bukan ahli fiqh), sebagaimana yang akan dijelaskan nanti.
2. Argumentasi Ulama Ahnâf
Ulama Ahnâf lebih mendahulukan qiyâs dari pada hadis âhâd (yang diriwayatkan oleh orang yang tidak faqîh), dengan argumentasi sebagai berikut:
1. Penggunaan qiyâs dalam menolak hadis âhâd sudah populer sejak masa generasi shahabat.[30] Ibnu ‘Abbâs misalnya, menolak hadis riwayat Abû Hurairah “berwudhu’ bagi orang yang membawa jenazah” dengan qiyâs; Ibrâhîm al-Nakha’i dan al-Sya’bi juga menolak hadis riwayat Abu Hurairah: “Anak zina adalah yang terburuk di antara tiga orang (dia, ayah dan ibunya)” dengan qiyâs: “bagaimana mungkin anak zina yang tidak memiliki daya dan upaya bisa menjadi lebih buruk dibanding ayah dan ibunya yang berbuat zina?”[31] Berdasarkan fenomena ini, maka ulama Ahnâf kemudian berkesimpulan bahwa Abû Hurairah – juga beberapa shahabat lain – bukan seorang faqîh (ahli fiqh).
Implikasinya, ulama Ahnâf menerima hadis âhâd jika hadis tersebut tidak menyalahi qiyâs dan diriwayatkan oleh seorang faqîh (ahli fiqh). Jika tidak, maka qiyâs lebih diutamakan dari pada hadis âhâd. Lebih lanjut ulama Ahnâf beralasan, sebagaimana yang diungkapkan al-Sarakhsi:
"ومعلوم أن الناقل بالمعنى لا ينقل إلا بقدر ما فهمه من العبارة، وعند قصور فهم السامع ربما يذهب عليه بعض المراد، وهذا القصور لا يشكل عند المقابلة بما هو فقه لفظ رسول الله صلى الله عليه وسلم، فلتوهم هذا القصور"[32]
Ungkapan al-Sarakhsi di atas, menurut penulis, senada dengan apa yang dijelaskan oleh Nasroen Haroen dalam bukunya “Ushul Fiqh” sebagai berikut: “Karena hadis-hadis yang diriwayatkan para sahabat dan tabi’in tersebut mayoritasnya melalui maknanya saja. Artinya, para perawi hadis hanya menyampaikan maksud dari sabda Rasulullah tersebut, jarang sekali mereka menyampaikan kandungan hadis itu sesuai dengan ungkapan asli yang diucapkan Rasulullah. Oleh sebab itu, kemungkinan terjadinya perubahan makna dari perawi yang bukan ahli fiqh sangat besar, sehingga yang ia sampaikan itu tidak utuh.”[33]
2. Qiyâs merupakan hujjah yang telah kokoh dalam al-Qur’an, Sunnah dan Ijma’; sedangkan hadis âhâd masih dikeragui validitas ketersambungannya kepada Nabi. Maka dalam hal ini qiyâs lebih kuat dari pada hadis âhâd.[34]
3. Qiyâs lebih kokoh (atsbat) dari pada hadis âhâd, karena hadis âhâd masih membuka peluang seorang perawi lupa dan bohong; sedangkan dalam qiyâs, hal ini tidak terjadi.[35]
4. Qiyâs tidak ada kemungkinan (muhtamal) terjadinya takhshîsh, sedangkan hadis âhâd ada kemungkinan (muhtamal) terjadinya takhshîsh. Maka sesuatu yang tidak muhtamal lebih baik dari pada sesuatu yang muhtamal.[36]
5. Jika kita tidak menolak hadis âhâd yang menyalahi qiyâs, berarti kita telah menghapus (nâsakh) hukum al-Qur’an (perintah untuk menggunakan akal) dan al-Sunnah (perintah berijtihad dengan ra’yu), serta menyalahi Ijma’.[37]
3. Contoh Hadis
Berikut ini beberapa contoh hadis âhâd yang tidak diterima oleh ulama Ahnâf karena bertentangan dengan qiyâs:
Ulama Ahnâf tidak menerima hadis al-Tashriyyah yang diriwayatkan oleh Abû Hurairah.[39] Dalam hadis itu dikatakan:
لاَ تُصَرُّوا الإِبِلَ وَالْغَنَمَ فَمَنِ ابْتَاعَهَا بَعْدَ ذَلِكَ فَهُوَ بِخَيْرِ النَّظَرَيْنِ بَعْدَ أَنْ يَحْلُبَهَا فَإِنْ رَضِيَهَا أَمْسَكَهَا وَإِنْ سَخِطَهَا رَدَّهَا وَصَاعًا مِنْ تَمْرٍ[40]
“Janganlah kamu melakukan tashriyyah kepada unta dan kambing, siapa yang membelinya (hewan seperti itu) berhak memilih antara menerima hewan itu apa adanya, atau dengan mengembalikannya, yang dibarengi dengan satu sha’ (2,75 liter) kurma, setelah susu hewan itu ia keluarkan. (H.R. al-Bukhari dan Muslim)
Hadis tersebut mengatakan bahwa susu yang telah diambil pembeli diganti dengan kurma. Ini bertentangan dengan qiyâs, karena kurma tidak sama dengan susu unta atau kambing.[41] Dengan kata lain, menyerahkan kurma sebagai pengganti air susu tidak sama dengan qiyâs terhadap penggantian materi yang hilang, baik dari segi materi bendanya maupun dari segi harganya.
Ulama Ahnâf menentang hadis yang menyatakan bahwa tertawa terbahak-bahak ketika sedang melaksanakan shalat dapat membatalkan wudhu’ (disamping juga membatalkan shalat itu sendiri). Memang ada dalil dari hadis yang diriwayatkan oleh Abû Mûsa yang mengatakan:
بينما النبي صلى الله عليه وسلم يصلي بالناس إذا دخل رجل فتردى في حفرة كانت في المسجد وكان في بصره ضرر فضحك كثير من القوم وهم في الصلاة، فأمر رسول اله صلى الله عليه وسلم من ضحك أن يعيد الوضوء ويعيد الصلاة. [43]
“Ketika Nabi SAW sedang menjadi imam dalam shalat berjama’ah, tiba-tiba datang seorang laki-laki yang ingin ikut shalat, lalu ia terjatuh ke dalam lubang yang ada di dalam masjid, ternyata laki-laki itu matanya buta. Akibatnya hampir semua orang tertawa melihat kejadian itu, padahal mereka sedang shalat berjama’ah. Selesai shalat, Nabi menyuruh orang yang tertawa tadi untuk mengulangi lagi wudhu’ dan shalatnya.”
Bahkan Abû Hanîfah juga meriwayatkan hadis di atas dengan redaksi yang berbeda, yaitu:
بَيْنَمَا هُوَ فِى الصَّلاَةِ إِذْ أَقْبَلَ أَعْمَى يُرِيدُ الصَّلاَةَ فَوَقَعَ فِى زُبْيَةٍ فَاسْتَضْحَكَ الْقَوْمُ حَتَّى قَهْقَهُوا فَلَمَّا انْصَرَفَ النَّبِىُّ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّم قَالَ: "مَنْ كَانَ مِنْكُمْ قَهْقَهَ فَلْيُعِدِ الْوُضُوءَ وَالصَّلاَة".[44]
Ketika Rasulullah saw. sedang shalat (berjama’ah), lalu datang seorang yang buta ingin ikut shalat (berjama’ah). Namun tiba-tiba ia terjatuh ke dalam sebuah lubang. Lalu orang-orang (yang melihat kejadian itu) tertawa hingga terbahak-bahak. Begitu Nabi selesai mengerjakan shalat, ia lalu bersabda: “Siapa di antara kalian yang tertawa terbahak-bahak, maka hendaklah ia mengulangi wudhu’ dan shalat.” (H.R. Thabrâni)
Ulama Ahnâf menganggap hadis-hadis di atas lemah (tidak bisa dijadikan hujjah), karena bertentangan dengan qiyâs yang shahîh. Dalam hal ini qiyâs-nya adalah orang yang tertawa terbahak-bahak di luar shalat saja tidak membatalkan wudhu’ (sesuai dengan kesepakatan para ulama); maka bagaimana mungkin orang yang tertawa terbahak-bahak ketika sedang melaksanakan shalat dapat membatalkan wudhu’nya. Redaksi (matan) hadis ini jelas tidak dapat diterima logika.[45]
4. Ketidakkonsistenan Prinsip Ulama Ahnâf
Prinsip ulama Âhnâf yang mendahulukan qiyâs dan menolak hadis âhâd ini dibantah oleh banyak ulama, karena banyak sekali hukum-hukum fiqh yang mereka tetapkan tetap dilandaskan kepada hadis âhâd walaupun bertentangan dengan qiyâs. Menurut Nasroen Haroen, mengutip pendapat Zakiy al-Dîn Sya’bân[46] (seorang ahli ushul fiqh dari Mesir), ulama Ahnâf tidak konsisten dengan prinsip mereka tersebut.[47] Ia mengemukakan contoh sabda Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Abû Hurairah (menurut ulama Ahnâf Abû Hurairah bukan ahli fiqh):
مَنْ نَسِىَ وَهُوَ صَائِمٌ فَأَكَلَ أَوْ شَرِبَ فَلْيُتِمَّ صَوْمَهُ فَإِنَّمَا أَطْعَمَهُ اللَّهُ وَسَقَاهُ[48]
“Orang yang makan dan minum karena lupa (dalam puasa) hendaklah ia sempurnakan puasanya, karena (dalam keadaan seperti itu) Allah-lah yang memberinya makan dan minum.” (H.R. al-Bukhâri dan Muslim)
Ulama Ahnâf menerima hadis ini, bahkan Imam Abû Hanîfah sendiri mengatakan, “Kalaulah bukan karena adanya hadis ini, saya akan mengamalkan qiyâs.”[49]
Berdasarkan hal ini, ulama Ahnâf mempunyai dua pandangan yang berbeda ketika hadis ahâd diriwayatkan oleh seorang yang tidak faqîh. Di satu sisi mereka mengedepankan qiyâs dan menolak hadis ahâd, dan di sisi lain mereka menggunakan hadis âhâd dan menolak qiyâs. Beberapa ulama berupaya mengkompromikan dua hal yang bertolak belakang ini. Abu Zahrah misalnya, mengambil jalan tengah dengan mengatakan: “Abû Hanîfah (sebenarnya) mengedepankan qiyâs terhadap hadis âhâd bila sanadnya tidak maqbûl”.[50] Artinya, diterima atau tidaknya hadis âhâd, tidak tergantung kepada faqîh atau tidaknya perawi hadis, melainkan dilihat dari maqbûl atau tidaknya sanad tersebut secara keseluruhan.
Abû Zahrah juga mengatakan bahwa Abû Hanîfah meninggalkan hadis âhâd bila qiyâs itu qath’î. Namun Rif’ât Fauzi tidak sependapat dengan Abu Zahrah. Rif’ât Fauzi mengatakan: “Abû Hanîfah tidak meninggalkan hadis âhâd daripada qiyâs baik qathi’i ataupun zhanni.”[51] Lebih dari itu, Ibn Taimiyah menegaskan: “Barang siapa yang menduga bahwa Abû Hanîfah atau imam lainnya berpegang pada sesuatu yang berlawanan dengan hadits shahîh dengan merujuk kepada qiyâs atau lainnya, maka itu pendapat yang keliru.” [52]
Dari keterangan di atas, tampaknya Rif’ât Fauzi membantah bahwa Abû Hanîfah dan pengikutnya menjadikan qiyâs sebagai kriteria penilaian hadis âhâd. Tapi sayangnya pendapat ini dipandang lemah karena pendapat ini tidak didukung oleh referensi yang jelas; ia tidak menuliskan di dalam bukunya,[53] siapa sebenarnya yang berpendapat semacam itu. Hal ini, menurut penulis, menandakan kelemahan argumentasinya, karena secara realitas dalam berbagai literatur (kitab-kitab fiqh) dikatakan bahwa Abû Hanîfah menggunakan qiyâs – dalam kebanyakan kasus – sebagai kriteria pengujian hadis âhâd.
III. PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat diambil beberapa kesimpulan:
1. Qiyâs secara etimologi: ‘ukuran, persamaan, atau persesuaian’. Sedangkan qiyâs secara terminologi: ‘menghubungkan kejadian yang tidak ada nash atau teks hukumnya kepada kejadian lain yang ada nashnya, karena ‘illat kejadian itu sama’.
2. Jika hadis âhâd bertentangan dengan qiyâs, maka ada beberapa pendapat: a) Jika ‘qiyâs didasarkan atas nash qath’î, sedangkan hadis âhâd tidak, maka wajib beramal dengan qiyâs (kesepakatan ulama); b) Jika ‘qiyâs dibangun atas nash zhannî yang bisa mengakibatkan pertentangan, maka beramal dengan hadis âhâd lebih diutamakan daripada qiyâs (kesepakatan ulama); c) Jika qiyâs diperoleh dari sumber zhannî, maka berpegang pada hadis âhâd lebih diutamakan (kesepakatan ulama); dan d) Jika qiyâs diperoleh dari sumber qath’î, sementara hadis âhâd bertentangan dengan qiyâs, maka di sinilah letak perbedaan pendapat ulama.
3. Apabila hadis âhâd menyalahi qiyâs, maka jumhur ulama sepakat mendahulukan hadis âhâd daripada qiyâs, baik perawi hadis tersebut faqîh atau tidak. Namun ulama Ahnâf memberikan syarat tambahan berupa kefaqîhan perawi, maka apabila perawi hadis itu bukan seorang faqîh (ahli fiqh) dan hadis itu bertentangan dengan qiyâs, maka mereka tidak menerima hadis tersebut.
4. Walaupun pengujian hadis âhâd dengan qiyâs yang digunakan oleh ulama Ahnâf ini menuai kontroversi (ada yang mengakui dan ada yang tidak), namun hal ini tidak menghalangi praktek pengujian hadis âhâd dengan qiyâs di kalangan ulama Ahnâf.
B. Saran
Demikianlah makalah ini penulis presentasikan, dengan harapan semoga dapat memberi manfaat dan menambah wawasan akademis bagi pembaca, khususnya dalam mata kuliah “metode kritik hadis”. Namun peribahasa mengatakan, “tak ada gading yang tak retak”; maka penulis menyadari bahwa makalah ini pun masih terdapat kekurangan dan keterbatasan, baik kekurangan itu berasal dari diri pribadi penulis maupun keterbatasan literatur-literatur yang ada. Untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran dari pembaca demi lebih sempurnanya makalah ini di masa yang akan datang.
Wa Allâh a’lam bi al-Shawâb.
[1] Shalahudin ibn Ahmad al-Adlabi, Alih Bahasa: H. M. Qodirun Nur dan Ahmad Musyafiq, Kritik Metodologi Matan Hadis; Manhaj Naqd al-Matn Ind Ulama’ al-Hadits al-Nabawi, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2004), cet. ke-1, hal. 17-9.
[2] Nasroen Haroen, Ushul Fiqh I, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), Cet. II, hal. 41.
[3] Ibid., hal. 44.
[4] Ibid., hal. 45.
[5] Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid I, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), cet. ke-1, hal. 106.
[6] Qiyâs sebagai sebuah penalaran hukum yang liberal, semakin memasyarakat pada masa tabi’in. Madzhab Irak yang diwakili oleh Abû Hanîfah, dan kedua muridnya, Abû Yûsuf dan al-Syaybâni, banyak mengeluarkan fatwa-fatwa yang berdasarkan pada otoritas ra’y, meskipun tetap menggunakan nash. Abû Yûsuf misalnya, membenarkan akad muzâra’ah (menyewakan lahan petanian), berdasarkan pada kebolehan akad bagi hasil mudhârabah. Sementara kebolehan mudhârabah sendiri merupakan hasil dari pengqiyâsan kebolehan akad musâqah (menyewakan kebun buah-buahan) yang diperbolehkan oleh Nabi. Dengan demikian, kebolehan muzâra’ah didasarkan pada qiyâs ganda, atau qiyâs yang didasarkan pada hasil qiyâs. Lihat: Muhammad Roy, Ushul Fiqh Madzhab Aristoteles; Pelacakan Logika Aristoteles dalam Qiyas Ushul Fiqh, (Yogyakarta: Safiria Insania Press, 2004), cet. ke-1, hal. 38; Ahmad Hasan, Analogical Reasoning in Islamic Jurisprudence: A Study of The Juridical Principle of Qiyas, (Islamabad: Islamic Research Institute, 1986), hal. 11.
[7] Muhammad Roy, op.cit., hal. 34-5.
[8] Ibid., hal. 40.
[9] Syafi’i sengaja memformulasikan qiyâs dengan syarat yang ketat untuk membendung penggunaan ra’y yang sewenang-wenang sebagaimana madzhab hukum awal. Syafi’i memberikan syarat-syarat seseorang boleh melakukan qiyâs, yaitu: menguasai bahasa Arab dan unsur-unsurnya, seperti nahw, sharaf dan balaghah, mengetahui ajaran-ajaran al-Qur’an, seperti etika Qur’ani, nasikh-mansukh, dan lafazh umum dan atau khusus, mendalami al-Sunnah, permasalahan-permasalahan yang disepakati dan diperselisihkan, dan menguasai logika yang benar atau akal sehat. Lihat: Ibid., hal. 41; Muhammad bin Idrîs al-Syâfi’i, al-Risâlah, (Kairo: Mathba’ah Mushthafâ al-Halabi, 1940), hal. 70.
[10] Muhammad Roy, op.cit., hal. 42.
[11] Ibid., hal. 45.
[12] ‘Abd al-Karîm Zaidân, al-Wajîz fî Ushûl al-Fiqh, (Baghdad: Muassasah Qurthubah, 1396 H/1976 M), Cet. ke-6, hal. 194.
[13] Muhammad Roy, loc.cit., hal. 46; Ahmad Hasan, loc.cit., hal. 95-6).
[14] Ibid.; Ibid., hal. 99.
[15] Ibid., hal. 47; Sayf al-Dîn al-Âmidi, al-Ihkâm fî Ushûl al-Ahkâm, (Beirut: Dâr al-Fikr, 1996), Juz 3, hal. 266; Muhammad ibn ‘Ali al-Syawkâni, Irsyâd al-Fuhûl, (Mesir: Mathba’ah Shabîh, 1349 H), hal. 174; Abû Hâmid al-Ghazâli, al-Mushthafâ min ‘Ilm al-Ushûl, (Kairo: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1983), Juz 2, hal. 54.
[16] Ibid.; Abû al-Husein al-Bashri, Kitâb al-Mu’tamad fî Ushûl al-Fiqh, (Damaskus: al-Ma’had al-‘Ilm al-Faransi, 1965), hal. 1031-2.
[17] Ibid., hal. 48; Wahbah al-Zuhayli, Ushûl al-Fiqh al-Islâmi, (Beirut: Dâr al-Fikr, 1986), Juz 1, hal. 603.
[18] Ibid., hal. 49; Abû Bakr al-Jashshâsh, Kitâb Ushûl al-Fiqh, (Kairo: Dâr al-Kutub al-Mishriyyah, tt), bab qiyas.
[19] Ibid.; Ibid., hal. 106.
[20] Ibid.; Ibid., hal. 104.
[21] Amir Syarifuddin, op.cit., hal. 147.
[22] Muhammad Roy, loc.cit., hal. 50.
[23] Ibid.
[24] Ibid.; Sayf al-Dîn al-Âmidi, op.cit., Juz 3, hal. 273; Amir Syarifuddin, loc.cit., hal. 146.
[25] Ibid.
[26] Masfar ‘Azmillâh al-Damînî, Maqâyîs Naqdi Mutûn al-Sunnah, (Riyâdh: Jâmi’ah al-Imâm Muhammad ibn Su’ûd al-Islâmiyyah, 1404 H / 1984 M), cet. I, hal. 427.
[27] Ibid., hal. 428.
[28] Perawi-perawi itu dikatakan ahli fiqh karena tidak ada waham (kecurigaan) dalam diri mereka adanya kekurangan dalam periwayatan, bahkan mereka meriwayatkan dengan penuh pemahaman. Lihat: Rif’ât Fauzi ‘Abd al-Muthallib, Tautsiq al-Sunnah fi al-Qarn al-Tsâni al-Hijri, ususuhu wa ittijâhâtuh, (Kairo: Mathba’ah al-Khanji, 1981), cet. ke-1, hal. 391.
[29] Rif’ât Fauzi ‘Abd al-Muthallib, op.cit.
[30] Dan tradisi ini terus berlanjut kepada generasi tabi’in, tabi’ tabi’in, dan seterusnya.
[31] Masfar ‘Azmillâh al-Damîni, op.cit., hal. 430.
[32] Ibid.
[33] Nasroen Haroen, op.cit., hal. 45-6.
[34] Masfar ‘Azmillâh al-Damîni, loc.cit.
[35] Ibid.
[36] Ibid.
[37] Ibid.
[38] Al-Tashriyyah adalah mengikat payudara hewan ternak betina (seperti: kambing atau unta betina), sehingga susunya menumpuk dan peminat/pembelinya akan menganggap bahwa hewan itu banyak susu, sehingga harga jualnya pun bertambah. Lihat: Ibid., hal. 435.
[39] Ibid., hal. 46.
[40] Ibid.
[41] Nasroen haroen, op.cit.
[42] Al-Qahqahah fî al-Shalâh maksudnya tertawa terbahak-bahak sewaktu melaksanakan ibadah shalat. Lihat: Rif’ât Fauzi ‘Abd al-Muthallib, loc.cit., hal. 441.
[43] Ibid.
[44] Ibid.
[45] Beberapa ahli hadis juga melakukan pengkajian terhadap hadis ini. Mereka berpandangan yang secara tidak langsung mendukung pendapat ulama Ahnâf ini. Abû Dâud misalnya, ia mengatakan: “hadis ini tidak masuk akal”. Abû Hurairah juga meriwayatkan hadis ini, akan tetapi sanadnya munqathi’ dan di dalamnya ada perawi yang matrûk dan ada pula yang dha’îf. Ibnu ‘Umar juga meriwayatkan hadis ini, namun di dalam sanadnya ada perawi yang melakukan tadlîs. Anas, Jâbir, ‘Imrân ibn Hushain dan Abû al-Hushain juga meriwayatkan hadis ini dengan sanad yang lemah, tidak bisa dijadikan hujjah. Dan hadis yang diriwayatkan oleh Abû Hanîfah sendiri dari Ma’bad al-Juhani dianggap hadis mursal, karena Ma’bad sebenarnya tidak pernah ada hubungan sahabat dengan Abû Hanîfah.[45] Maka tidak diragukan lagi bahwa sanad-sanad hadis tersebut semuanya lemah. Oleh sebab itu, jumhur ulama sepakat menetapkan bahwa wudhu’ tidak batal disebabkan oleh tertawa terbahak-bahak dalam shalat. Lihat: Rif’ât Fauzi ‘Abd al-Muthallib, loc.cit., hal. 442.
[46] Zakiy al-Dîn Sya’bân, Ushûl al-Fiqh al-Islâmi, (Mesir: Dâr al-Ta’lîf, 1961), hal. 69-72.
[47] Nasroen haroen, loc.cit.
[48] Ibid.
[49] Ibid.
[50] Rif’ât Fauzi ‘Abd al-Muthallib, loc.cit., hal. 400.
[51] Ibid.
[52] Ibid.
[53] Buku yang dimaksud adalah buku yang berjudul: “Tautsiq al-Sunnah fi al-Qarn al-Tsâni al-Hijri, ususuhu wa ittijâhâtuh” karangan Rif’ât Fauzi sendiri. Ibid., hal. 400.