METODE
PEMAHAMAN HADIS MODERNIS:
PENDEKATAN
ILMIAH DAN FILOSOFIS
I.
PENDAHULUAN
Pada saat ini, saat di
mana peradaban dan kebudayaan menuju ke arah kemodernan yang ditandai dengan
munculnya teknologi yang serba canggih, mulai dari sains sampai pada teknologi
informatika. Agama Islam, sesungguhnya mendapatkan ujian berat. Di satu pihak,
Islam sebagai agama universal dan diklaim sebagai pengatur selurh aspek
kehidupan, dituntut untuk selalu relavan dengan kemodernan tersebut. Sementara
di pihak lain, Islam juga dituntut untuk tidak kehilangan jati dirinya sebagai
aturan Allah yang sakral.
Untuk itu muncul
pertanyaan, memadaikah pendekatan yang selama ini berkembang di kalangan ulama
atau pemikir untuk memahami Islam – terutama dalam hal al-Hadits – agar
senantiasa sejalan dan mampu memberikan penyelesaian terbaik terhadap persoalan
umat manusia yang senantiasa terus berkembang? Pertanyaan inilah yang – antara
lain – mendorong para pemikir untuk mencari “pendekatan-pendekatan baru” untuk
memahami Islam dari sumber al-Sunnah.
Maka, jika kaum muslimin
mencari kebenaran terhadap pemahaman sebuah hadis, mereka bukan hanya harus
mengkaji melalui pendekatan tekstual semata, melainkan juga semua cara-cara
yang dengannya kebenaran itu dirasakan, dipahami, dielaborasi, dijustifikasi,
diberi wajah ortodoksi, dan dihayati dalam konteks, waktu dan ruang geografis
tertentu. Untuk itu mereka memerlukan metode modern seperti pendekatan
antropologi, psikologi, sosiologi, semiotika, linguistik, ekonomi, filsafat,
dan ilmu pengetahuan yang lain.[1]
Di antara pendekatan modern
yang dapat digunakan dalam memahami hadis adalah pendekatan ilmiah dan pendekatan
filosofis. Untuk mengetahui lebih lanjut tentang pendekatan ini, penulis
mengangkat sebuah kajian dalam bentuk makalah yang berjudul: “Metode
Pemahaman Hadis Modernis: Memahami Hadis dengan Metode Pendekatan Ilmiah dan Metode
Pendekatan Filosofis”.
II.
PEMBAHASAN
A.
METODE
PEMAHAMAN HADIS MODERNIS
Sebelum membicarakan lebih jauh
tentang metode pemahaman hadis modernis, ada beberapa istilah penting yang perlu
dijelaskan dalam pembahasan ini, seperti: “metode” dan “modernis”.
Kata “metode” berasal dari bahasa Yunani methodos, yang
berarti cara atau jalan.[2] Dalam bahasa Inggris, kata ini ditulis method, dan
bangsa Arab menerjemahkannya dengn tharîqat dan manhaj. Dalam
bahasa Indonesia, kata tersebut mengandung arti: cara teratur yang digunakan
untuk melaksanakan suatu pekerjaan agar tercapai sesuai dengan yang
dikehendaki; cara kerja yang bersistem untuk memudahkan pelaksanaan suatu
kegiatan guna mencapai tujuan yang ditentukan.[3]
Adapun
kata “modernis”, dilihat dari akar kata, merupakan bentukan dari kata “modern” ditambah
akhiran “is”. Term “modern”
berasal dari bahasa Latin “moderna” yang berarti “sekarang, baru, atau
saat ini”. Atas dasar itu, manusia dikatakan modern sejauh kekinian menjadi
pola kesadarannya.[4] Sedangkan
akhiran “is” setelah kata “modern” menyatakan makna “memiliki sifat”.[5]
Jadi, dapat disimpulkan bahwa modernis berarti sesuatu yang bersifat kekinian. Jadi
secara keseluruhan, dapat dipahami bahwa metode pemahaman hadis modernis merupakan
cara atau langkah-langkah sistematis yang digunakan dalam
memahami hadis Nabi
melalui sudut pandang kekinian.
Dalam
sejarah Islam, periode modern dimulai sejak pembukaan abad ke-19, yang ditandai
dengan mulai masuknya kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi modern ke dunia
Islam. Kontak dengan dunia Barat pun selanjutnya membawa ide-ide baru ke dunia
Islam seperti rasionalisme, nasionalisme, demokrasi, dan sebagainya. Semua ini
menimbulkan persoalan-persoalan baru, dan pemimpin-pemimpin Islam pun mulai
memikirkan cara mengatasi persoalan-persoalan baru itu.[6]
Solusinya, umat Islam
tidak bisa lagi hidup ekslusif, monolitis, dan diskriminatif. Dalam pemahaman
hadis misalnya, ajaran dalam hadis yang dibangun atas dasar epistemologi era
klasik (teosentris, negara teologis, homogen, ekslusif) tentu banyak menghadapi
persoalan ketika dihadapkan pada kasus atau gagasan baru yang dibangun atas
dasar epistemologi modern. Apalagi saat pemikiran tersebut lebih didominasi
pola pikir pragmatis yang tegak di atas fondasi positivisme yang anti
metafisis. Di sini nilai-nilai ajaran hadis ditantang untuk memberikan solusi yang
logis-rasional namun tetap orisinal, sehingga Islam tidak dituding sebagai
agama yang mengajarkan kekerasan, teror dan diskriminatif.
Kebutuhan
akan sebuah metode pemahaman hadis yang bersifat modernis mutlak dilakukan
dengan berbagai metode pendekatan, di antaranya adalah metode pendekatan ilmiah
dan metode pendekatan filosofis (prinsip maslahah). Kajian tentang pendekatan
ilmiah dan filosofis ini akan diuraikan pada pembahasan selanjutnya.
B.
MEMAHAMI
HADIS DENGAN METODE PENDEKATAN ILMIAH
Pendekatan
ilmiah terdiri dari dua variabel kata, yaitu
“pendekatan” dan “ilmiah”. Kata “pendekatan” secara bahasa berarti
proses, perubahan, dan cara mendekati (dalam kaitannya dengan perdamaian atau
persahabatan). Atau usaha dalam aktivitas penelitian untuk mengadakan hubungan
dengan orang yang diteliti. Atau metode untuk mencapai pengertian tentang
penelitian.[7]
Dalam bahasa Inggris disebut approach yang juga berarti pendekatan.
Pendekatan
juga berarti suatu sikap ilmiah (persepsi) dari seseorang untuk menemukan
kebenaran ilmiah.[8]
Maka dapat dipahami bahwa pendekatan yang dimaksud di sini adalah cara pandang,
orang juga sering menyamakannya dengan paradigma yang terdapat dalam suatu
bidang ilmu,[9]
yang selanjutnya digunakan dalam memahami hadis.
Sedangkan
kata “ilmiah” berasal dari kata “ilmu” yang berarti kumpulan pengetahuan yang
diorganisir secara sistemik.[10]
Atau dapat pula berarti seluruh pengetahuan yang diperoleh dan disusun secara tertib oleh
manusia.[11] Jadi secara
keseluruhan, dapat dipahami bahwa pendekatan ilmiah adalah cara
pandang terhadap pemahaman hadis melalui pertimbangan-pertimbangan yang logis
dan sistematis (berdasarkan ilmu pengetahuan).[12]
Ilmu
pengetahuan dapat didefinisikan sebagai sunatullah yang terdokumentasi
dengan baik, yang ditemukan oleh manusia melalui pemikiran dan karyanya yang
sistematis. Ilmu pengetahuan akan berkembang mengikuti kemajuan, kualitas
pemikiran, dan aktivitas manusia. Pertumbuhan ilmu pengetahuan seperti proses
bola salju yaitu dengan berkembangnya ilmu pengetahuan, manusia tahu lebih
banyak mengenai alam semesta ini yang selanjutnya meningkatkan kualitas
pemikiran dari karyanya yang membuat ilmu pengetahuan atau sains
berkembang lebih pesat lagi.[13]
Dengan
pendekatan melalui ilmu pengetahun, dapat membentuk nalar ilmiah yang berbeda
dengan nalar awam atau khurafat (mitologis). Nalar ilmiah ini tidak
mau menerima kesimpulan tanpa menguji premis-premisnya, hanya tunduk kepada
argumen dan pembuktian yang kuat, tidak sekedar mengikuti emosi dan dugaan
semata. Bentuk itu pula kiranya dalam memahami kontekstual hadis diperlukan
pendekatan seperti ini agar tidak terjadi kekeliruan untuk memahaminya.[14]
Pendekatan
ilmiah dapat digunakan untuk mengkompromikan hadis-hadis yang terkesan
bertentangan dengan rasio, seperti yang terdapat pada hadis-hadis berikut:
1)
Hadis tentang Lalat
سَمِعْتُ أَبَا هُرَيْرَةَ رضى الله عنه
يَقُولُ: قَالَ النَّبِىُّ صلى الله عليه وسلم: «إِذَا وَقَعَ الذُّبَابُ فِى شَرَابِ
أَحَدِكُمْ فَلْيَغْمِسْهُ، ثُمَّ لِيَنْزِعْهُ، فَإِنَّ فِى إِحْدَى جَنَاحَيْهِ دَاءً
وَالأُخْرَى شِفَاءً». [15]
“Apabila lalat jatuh dalam minuman salah
seorang di antara kamu, maka benamkanlah, kemudian buanglah karena pada salah
satu sayapnya terdapat penyakit dan pada sayapnya yang lain terdapat obat”.
Hadis
ini ditolak oleh Muhammad Taufiq Sidqiy dan Abd al-Waris al-Kabir karena
menurutnya tidak sesuai dengan pandangan rasio, karena lazimnya lalat itu
pembawa kuman yang dapat menimbulkan penyakit. Padahal hadis ini telah dinilai shahih
oleh para ulama hadis sejak dahulu sampai sekarang.
Namun
sejumlah riset belakangan ternyata menguatkan kebenaran hadis tersebut.
Penjelasan Rasulullah SAW ini, kini termasuk di antara ilmu baru yang ditemukan
beberapa tahun belakangan ini. Dari hasil penelitian ditemukan bahwa ketika
lalat hinggap di atas kotoran, dia memakan sebagiannya, dan sebagiannya lagi
menempel pada anggota badannya. Di dalam tubuh lalat mengandung imunitas
terhadap kuman-kuman yang dibawanya. Oleh karena itulah kuman-kuman yang
dibawanya tidak membahayakan dirinya. Imunitas tersebut menyerupai obat anti
biotik yang terkenal mampu membunuh banyak kuman. Pada saat lalat masuk ke
dalam minuman dia menyebarkan kuman-kuman yang menempel pada anggota tubuhnya.
Tetapi apabila seluruh anggota badan lalat itu diceburkan maka dia akan
mengeluarkan zat penawar (toxine) yang membunuh kuman-kuman tersebut.[16]
Berbeda
dengan apa yang telah dikemukakan oleh Yusuf Qardhawiy bahwa hadis tersebut
berisi anjuran dalam hal persoalan duniawi, khususnya dalam kondisi krisis
ekonomi dalam lingkungan tertentu yang mengalami kekurangan bahan pangan, agar
tidak membuang makanan yang telah terhinggapi lalat, bahkan hadis ini
memberikan penekanan tentang pembinaan generasi untuk hidup sederhana dan
bersikap tidak boros.[17]
2)
Hadis tentang Larangan Senggama Waktu
Haid
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ حَدَّثَنِى
أَبِى حَدَّثَنَا عَفَّانُ قَالَ حَدَّثَنَا حَمَّادُ بْنُ سَلَمَةَ قَالَ أَخْبَرَنَا
حَكِيمٌ الأَثْرَمُ عَنْ أَبِى تَمِيمَةَ الْهُجَيْمِىِّ عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ أَنَّ
رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ: «مَنْ أَتَى حَائِضاً أَوِ امْرَأَةً فِى
دُبُرِهَا أَوْ كَاهِناً فَصَدَّقَهُ فَقَدْ بَرِئَ مِمَّا أَنْزَلَ اللَّهُ عَلَى
مُحَمَّدٍ».
“Kami diberitahukan oleh Abdullah dari
bapaknya dari Affan dari Hammad bin Salamah dari Hakim al-Asram dari Abu
Tamimah al-Huzaimiy dari Abu Hurairah bahwasanya Nabi saw. bersabda: Barangsiapa
yang menggauli istrinya dalam keadaan haid atau pada dubur-nya atau
mempercayai tukang ramal, maka sungguh ia telah keluar dari agama Muhammad yang
diturunkan kepadanya (Islam)”.
Menghentikan
persetubuhan selama haid bagi setiap negara, dan bagi banyak pengikut agama,
sudah menjadi adat kesusilaan dari zaman purba sampai dewasa ini. Bagi mereka,
perempuan itu tercemar selama ia dalam kondisi haid. Dalam dunia wanita
sendiripun orang tidak dapat melepaskan anggapan bahwa adonan kue yang dibuat
oleh perempuan haid tidak mau mengembang, dan bahwa asinan atau acar yang
dibuatnya dapat menjadi busuk. Dapatkah “ketercemaran” perempuan haid itu
dibuktikan oleh penelitian ilmu pengetahuan yang akurat?
Dr.
Med. Ahmad Ramali, seorang yang telah mendapatkan gelar doktornya dalam bidang
kedokteran pada tahun 1950 di Universitas Gajah Mada mengemukakan bahwa dalam
benda cair haid itu terdapat Coccus Neisser. Zat ini bersifat virulent (dapat
membangkitkan kembali penyakit), dan karena itu ia menjadi penyebab timbulnya
penyakit. Sehingga ada kemungkinan pula bahwa dia bersama-sama dengan sedikit
benda cair dari perempuan itu masuk ke dalam urethra (aliran kandung
kemih) laki-laki, menyebabkan urethritis (radang aliran kandung kemih)
yang mendadak pada laki-laki.[18]
Pada
perempuan, di samping faktor fisik dan keadaan batin yang goncang selama haid,
ada pula keadaan-keadaan badan seperti berikut ini:
Pertama-tama,
yaitu perasaan kurang enak badan, yang dirasa oleh perempuan selama ada haid
itu. Kedua, karena congestio (darah berlebihan banyak mengalir
ke kulit atau alat badan yang lain) ke genetalia maka hasrat akan
bersenggama jadi bertambah, tetapi sebaliknya pula, karena genetalia
peka, maka perempuan itu jadi segan pada coitus. Apabila syahwat
dibangkitkan, maka oleh desakan darah, bagian-bagian dalam dari genetalia
jadi amat banyak mengandung darah, hingga pada sebagian perempuan yang ada
kerentanannya untuk itu, darah haid itu jadi luar biasa banyaknya; atau haid
itu kembali sesudah berhenti; mungkin pula karena desakan darah yang banyak itu
jadi terasa nyeri di sekitarnya, bahkan mungkin menjadi nyeri menahun kalau hal
ini acap kali berulang.
Dari
pandangan di atas, memberi pemahaman kepada kita bahwa dalam melihat sebuah
hadis tidak boleh tergesa-gesa dalam memberi kesimpulan, karena matan hadis dapat dipahami dan didekati
dari berbagai pendekatan. Dengan demikian untuk menguji kebenaran sebuah hadis
dari sisi rasionalitasnya yang merupakan unsur terpenting bagi paradigma sains
modern tidaklah mudah dilakukan, sebab selain diperlukan penguasaan sains
modern, juga dibutuhkan keahlian di bidang hadis serta pengetahuan yang luas
dan mendalam tentang ajaran Islam.
C.
MEMAHAMI
HADIS DENGAN METODE PENDEKATAN FILOSOFIS (PRINSIP MASLAHAH)
Pendekatan
filosofis terdiri dari dua variabel kata, yaitu: “pendekatan” dan “filosofis”.
Kata “pendekatan” sudah diuraikan pada pembahasan sebelumnya. Sedangkan kata “filosofis”
berasal dari kata filosofi ditambah dengan akhiran “is”. Kata filosofi sendiri berasal
dari bahasa Yunani, philosophia, yang terdiri atas dua kata: philos (cinta)
atau philia (persahabatan, tertarik kepada) dan shopia (hikmah,
kebijaksanaan, pengetahuan, keterampilan, pengalaman praktis, inteligensi).
Kata filosofi dalam bahasa Indonesia sama dengan kata filsafat yang berarti
cinta kebijaksanaan atau kebenaran. Plato menyebut Socrates sebagai philosophos
(filosof) dalam pengertian pencinta kebijaksanaan.
Dalam
Kamus Bahasa Indonesia, filsafat berarti “pengetahuan dan penyelidikan
dengan akal budi mengenai hakikat segala yang ada, sebab asal dan hukumnya”. Manusia filosofis adalah manusia yang memiliki kesadaran
diri dan akal sebagaimana ia juga memiliki jiwa yang independen
dan bersifat spiritual.[19]
Pengertian filsafat yang umumnya digunakan adalah pendapat yang dikemukakan oleh Sidi
Gazalba. Menurutnya, filsafat adalah berpikir secara mendalam, sistematik,
radikal dan universal dalam rangka mencari kebenaran, inti, hikmah atau
hakikat mengenai segala sesuatu yang
ada.[20]
Dan menurut Rene Descartes, yang dikenal sebagai “Bapak Filsafat Modern”,
filsafat baginya adalah merupakan kumpulan segala pengetahuan di mana Tuhan,
alam dan manusia menjadi pokok penyelidikan.[21]
Filsafat sebagai salah satu bentuk metodologi
pendekatan keilmuan, sama halnya dengan cabang keilmuan yang lain.[22]
Sering kali dikaburkan dan dirancukan dengan paham atau aliran-aliran
filsafat tertentu seperti rasionalisme, eksistensialisme, pragmatisme,
dan lain-lain. Ada perbedaan antara kedua wilayah tersebut, bahwasanya wilayah
pertama bersifat keilmuan, open-ended, terbuka dan dinamis. Sedangkan
wilayah kedua bersifat ideologis, tertutup dan statis. Yang pertama bersifat
inklusif (seperti sifat pure sciences), tidak bersekat-sekat dan tidak
terkotak-kotak, sedang yang kedua bersifat ekslusif (seperti halnya applied
sciences), seolah-olah terkotak-kotak dan tersekat-sekat oleh perbedaan
tradisi, kultur, latar belakang pergumulan sosial dan bahasa.[23]
Siapa pun yang bergerak pada wilayah “applied sciences” pada dasarnya
harus dibekali persoalan-persoalan dasar yang digeluti oleh “pure sciences”,
sedang yang bergerak pada wilayah “pure sciences”, tidak harus tahu dan
menjadi expert pada setiap wilayah “applied sciences”.[24]
Cara berpikir dan pendekatan kefilsafatan yang pertama, yakni yang bersifat
keilmuan, open-ended, terbuka, dinamis dan inklusif yang tepat dan cocok
untuk diapreasiasi dan diangkat kembali ke permukaan kajian keilmuan.
Berpikir secara filosofis tersebut selanjutnya dapat
digunakan dalam memahami ajaran agama, dengan maksud agar hikmah, hakikat atau
inti dari ajaran agama dapat dimengerti dan dipahami secara seksama. Oleh sebab
itu, pendekatan filosofis
adalah upaya untuk mencari inti, hakekat dan hikmah dalam memahami sesuatu di
balik formanya.[25]
Pendekatan filosofis
ini, bukanlah
hal baru dalam wacana Islam. Ushul Fiqh sebagai metode memahami kitab suci dan
khazanah Islam yang ditulis dalam bahasa Arab, senyatanya, bisa disebut sebagai
kajian filosofis. Sebab di dalam Ushul Fiqh terdapat pembahasan Qiyas (analogi)
yang cara kerjanya lebih luas dan sistematik dari metode logika yang ditawarkan
Aristoteles, misalnya. Di samping itu, terdapat pula kaidah-kaidah syari`ah
yang mencoba menyingkap tujuan dan hikmah di balik segenap aturan formal.
Kaidah-kaidah yang menyingkap tujuan dan hikmah syari’ah ini disebut dengan
prinsip mashlahah.[26]
Mashlahah (المصلحة) secara bahasa dapat berarti
kebaikan, kebermanfaatan, kepantasan, kelayakan, keselarasan, kepatutan. Kata al-mashlahah
adakalanya dilawankan dengan kata al-mafsadah (المفسدة)
dan adakalanya dilawankan dengan kata al-madharrah (المضرّة),
yang mengandung arti “kerusakan”.[27] Oleh karena itu, perbincangan mengenai maslahah berkisar
pada penekanan mendapatkan kebaikan atau manfaat, dan menghilangkan mudarat
atau kerusakan.
Sedangkan maslahah secara istilah, ulama Ushûl al-Fiqh
telah memberikan defenisi yang hampir sama satu sama lain. Di antaranya seperti
yang dikatakan oleh al-Ghazâlî sebagai berikut:
لكنا نعني بالمصلحة
المحافظة على مقصود الشرع، ومقصود الشرع من الخلق خمسة، وهو أن يحفظ عليهم دينهم،
ونفسهم، وعقلهم، ونسلهم، ومالهم. فكل ما يفوت هذه الأصول فهو مفسدة ودفعه مصلحة. [28]
“Maslahah adalah memelihara tujuan
syarak, yang meliputi lima perkara, yaitu memelihara agama, jiwa, akal,
keturunan, dan harta. Maka semua yang mengabaikan pemeliharaan tujuan syarak
yang lima ini adalah mafsadah, dan semua yang mengandung pemeliharaan tujuan
syarak ini adalah maslahah.”
Dalam defenisi ini, terdapat dua syarat yang harus dipenuhi
dalam maslahah, yaitu:
1.
Maslahah harus berada dalam ruang lingkup tujuan syarak,
tidak boleh didasarkan atas keinginan hawa nafsu.
2.
Maslahah harus mengandung dua unsur penting, yaitu meraih
manfaat dan menghindarkan mudarat.
Walaupun pendekatan filosofis pada hakikatnya
sama dengan prinsip maslahah, yaitu sama-sama berorientasi pada tujuan dan
kebermanfaatan, namun tetap saja
terdapat perbedaan di antara keduanya. Menurut pandangan ahli filsafat,
sebagaimana dikatakan al-Bûthî, maslahah bersifat keduniaan semata. Pertimbangan
antara baik dan buruk menurut mereka adalah berdasarkan pengalaman dan panca
indra saja. Pertimbangan tersebut berbeda dengan Islam yang meletakkan
pertimbangan kepada kebaikan dunia dan akhirat secara serentak. Bahkan pandangan
terhadap maslahah dunia bergantung kepada maslahah akhirat.[29]
Lebih jauh, pendekatan filosofis dapat memberikan
perspektif baru tentang semangat teks secara keseluruhan yang pada gilirannya
akan memberikan pemahaman tentang maksud atau tujuan (madlul/hadaf) yang
terkandung dalam sebuah hadis. Bahwa di sana disebutkan media (wasilah) sebagai
wadah bagi terwujudnya tujuan adalah hal yang wajar. Pemahaman hadis dengan
pendekatan filosofis dilakukan dengan cara menarik tujuan atau maksud sebuah
ucapan Rasul.[30]
Untuk
itu maksud atau tujuan yang diinginkan dengan media haruslah dibedakan dengan
jelas. Ini disebabkan karena tujuan atau maksud merupakan realitas yang
bersifat statis dan universal. Tetapi media senantiasa berkembang dan terus
berkembang. Dari sini, maka yang harus dijadikan pegangan adalah tujuan dan
maksud yang dikandung sebuah hadis, karena media merupakan pendukung bagi
tercapainya sebuah maksud.[31]
Dalam pemahaman hadis Nabi, pendekatan
filosofis atau prinsip maslahah,[32] telah banyak ditempuh oleh para ulama
kontemporer, seperti Yusuf Qardhawy, Muhammad al-Ghazali, dan lain-lain. Berikut
penulis kemukakan beberapa contoh hadis yang tidak dapat lagi dipahami melalui pendekatan linguistik
semata, namun harus dipahami melalui pendekatan filosofis (prinsip mashlahah):
1) Hadis
tentang Kepala Negara dari Suku Quraisy
عَنِ ابْنِ عُمَرَ رضى الله عنهما، عَنِ
النَّبِىِّ صلى الله عليه وسلم قَالَ: «لا يَزَالُ هَذَا الأَمْرُ فِى قُرَيْشٍ،
مَا بَقِىَ مِنْهُمُ اثْنَانِ».[33]
Diriwayatkan dari Ibn ‘Umar r.a., dari
Nabi SAW, ia bersabda: “Dalam urusan (beragama, bermasyarakat, dan bernegara)
ini, orang Quraisy selalu (menjadi pemimpinnya) selama mereka masih ada
walaupun tinggal dua orang”.
عَنْ أَنَسٍ قَالَ : كُنَّا
فِي بَيْتِ رَجُلٍ مِنَ الأَنْصَارِ ، فَجَاءَ رسول الله صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
حَتَّى وَقَفَ، فَأَخَذَ بِعِضَادَتيِ الْبَابِ، فَقَالَ: الأَئِمَّةُ مِنْ قُرَيْشٍ... [34]
Dari Anas, ia mengatakan: suatu ketika
kami berada di rumah seorang laki-laki Anshâr, lalu Rasulullah SAW datang,
hingga ia menghentikan
langkahnya. Lalu ia membuka pintu seraya bersabda:“Pemimpin itu dari suku
Quraisy…”
Dua
hadis di atas menyatakan bahwa pemimpin itu harus berasal dari suku Quraisy. Ibnu
Hajar al-Asqalānīy berpendapat bahwa tidak ada seorang ulama pun, kecuali dari
kalangan Mu’tazilah dan Khawārij, yang membolehkan jabatan kepala negara diduduki oleh
orang yang tidak berasal dari suku Quraisy. Demikian juga apa yang telah
dikemukakan oleh al-Qurthubīy, kepala negara disyaratkan harus dari suku
Quraisy. Sekiranya pada suatu saat orang yang bersuku Quraisy tinggal satu
orang saja, maka dialah yang berhak menjadi kepala negara.[35]
Pemahaman
secara tekstual terhadap hadis-hadis di atas dan yang semakna dengannya dalam
sejarah telah menjadi pendapat umum ulama dan karenanya menjadi pegangan para
penguasa dan umat Islam selama berabad-abad. Mereka memandang bahwa hadis-hadis
tersebut dikemukakan oleh Nabi dalam kapasitas beliau sebagai Rasulullah dan
tentunya benar berlaku secara universal.
Apabila
kandungan hadis di atas dipahami seperti itu, maka hal itu tidak sejalan dengan
petunjuk yang terdapat dalam al-Quran yang menyatakan bahwa pada dasarnya
manusia itu sama, yang paling mulia dan utama di sisi Allah dalan ketaqwaannya.[36]
Dengan
demikian maka diperlukanlah pemahaman secara filosofis bahwa hak kepemimpinan
bukan pada etnis Quraisy-nya, melainkan pada kemampuan dan kewibawaannya. Pada
masa Nabi, orang yang memenuhi syarat sebagai pemimpin dan dipatuhi oleh
masyarakat yang dipimpinnya adalah dari kalangan Quraisy. Apabila suatu
masa ada orang bukan suku Quraisy memiliki kewibawaan dan kemampuan untuk
memimpin, apalagi melebihi suku Quraisy, maka dia dapat ditetapkan sebagai
pemimpin atau kepala negara. Pemahaman kontekstual semacam ini pertama kali
dipelopori oleh Ibnu Khaldun (808 H-1506M).[37]
2)
Hadis tentang Siwak
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ
اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « لَوْلاَ أَنْ أَشُقَّ عَلَى أُمَّتِى لأَمَرْتُهُمْ
بِالسِّوَاكِ عِنْدَ كُلِّ صَلاَةٍ ».
“Dari
Abu Hurairah Radiallahu ‘anhu berkata bahwasanya Nabishallallahu ‘alaihi
wasallam bersabda : jikalau tidak memberatkan akan umatku, niscaya akan
kuperintahkan untuk bersiwak pada setiap kali hendak melakukan shalat”.
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ قَالَ رَسُولُ
اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « السِّوَاكُ مَطْهَرَةٌ لِلْفَمِ مَرْضَاةٌ لِلرَّبِّ
».
“Diriwayatkan dari ‘Âisyah ia berkata:
Rasulullah SAW bersabda: “Siwak itu membersihkan mulut dan menjadikan Allah
ridha”.
Tetapi
apakah yang dimaksud dengan siwak itu sendiri? Tidak boleh menggunakan yang
lain? Siwak adalah wasilah, sehingga boleh mesyarakat menggunakan selain siwak
untuk membersihkan mulut. Kalau pun RAsulullah SAW menentukan siwak, oleh
karena siwak cocok dan mudah didapat di jazirah Arab. Dengan demikian, bolehlah
wasilah buatan seperti sikat gigi.
Sebagian
ulama malah telah menyatakan hal ini. Dalam kitab Hadiyaturraghib dalam fiqh
Hanbali disebutkan: “Siwak bisa dengan kayu arak, zaitun, dan batang kayu lain
yang tidak melukai dan membahayakan serta tidak pecah. Sedang yang membahayakan
atau yang melukai dan pecah, hukumnya makruh. Di antara yang membahayakan
adalah kayu delima, gaharu dan sejenisnya. Dna tidak cocok dengan sunnah bagi
yang bersiwak bukan dengan kayu. Syeikh Abdullah Bassem, peringkas kitab
tersebut telah mengutip kata-kata Imam Nawawi sebagai berikut: “Seseorang boleh
bersiwak dengan apa saja yang dapat menghilangkan bau mulut, seperti dengan
kain atau jari-jari tangan”. Inilah mazhab Hanafi, berdasarkan dalil yang
bersifat umum tentangnya.[38]
Sejalan
dengan itu, Yusuf al-Qardawi mengatakan bahwa tujuan atau maksud dari hadis ini
sebenarnya adalah membersihkan mulut sehingga Allah menjadi ridha karena
kebersihan itu. Sedangkan siwak merupakan media untuk mencuci mulut. Disebutkan
siwak oleh Rasul, karena siwak cocok dan mudah didapat di jazirah Arab. Karena
itu, siwak dapat diganti dengan barang lain, seperti odol dan sikat gigi dan
sama kedudukannya dengan siwak.[39]
III.
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Dari
uraian di atas, dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut:
1.
Kajian secara komprehensif sangat diperlukan dalam memahami
dan menangkap maksud sebuah hadits. Apalagi dengan perkembangan zaman yang
semakin modern, diperlukan metode pemahaman yang modern pula, seperti metode pendekatan
ilmiah dan pendekatan filosofis.
2.
Pendekatan ilmiah hadis merupakan pendekatan
yang berusaha menyingkap pemahaman hadis melalui sudut pandang ilmu pengetahun
(sains). Pendekatan ilmiah ini dapat membentuk nalar ilmiah yang berbeda
dengan nalar awam. Nalar ilmiah tidak mau menerima kesimpulan tanpa menguji premis-premisnya
dan tidak sekedar mengikuti emosi dan dugaan semata. Oleh karena itu,
pendekatan ilmiah merupakan pendekatan yang terbilang baru dan sulit, karena
disamping harus menguasai ilmu hadis, seseorang yang akan melakukan penelitian
hadis juga harus menguasai ilmu sains.
3.
Pendekatan filosofis hadis merupakan pendekatan yang mencoba menyingkap tujuan dan hikmah di balik segenap
aturan formal dalam hadis. Pendekatan ini telah lama dilakukan oleh ulama ushul
fiqh dengan prinsip “mashlahah”, yaitu prinsip yang mengedepankan manfaat dan menghindarkan mudarat.
Pada mulanya pendekatan filosofis tidak digunakan, karena bertentangan dengan
pemahaman tradisionalis-formalistik
yang cenderung memahami agama terbatas pada aturan formalistik, tanpa meragukan
makna filosofisnya. Namun
seiring perkembangan zaman, pendekatan inipun mulai diterima dan digunakan
dalam pemahaman hadis.
B.
KRITIK
DAN SARAN
Demikianlah
makalah ini penulis sampaikan, semoga dapat menambah wawasan keislaman bagi
pembaca, terutama dalam bidang ilmu fiqh al-hadîts. Penulis menyadari
makalah ini belumlah sempurna, masih terdapat kekurangan di sana-sini. Oleh
sebab itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca,
demi lebih sempurnanya makalah ini. Wallâhu A’lam.
[2] Fuad Hasan
dan Koentjaraningrat, Beberapa Asas Metodologi Ilmiah, dalam
Koentjaraningrat (ed.), Metode-metode Penelitian Masyarakat, (Jakarta:
Gramedia, 1997),
hal. 16.
[3] Tim Penyusun
Kamus Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka,
2005), cet. ke-3, edisi ke-3, hal. 740.
[4] Harun Nasution, Pembaharuan
dalam Islam Sejarah Pemikiran dan Gerakan, (Jakarta: Bulan Bintang, 1975), cet.
ke-1, hal. 2.
[10] Lebih
lanjut dikatakan, bahwa defenisi tersebut dapat dikatakan memadai hanya kalau
kata-kata “pengetahuan” (knowledge) dan sistematik (systematic)
didefenisikan lagi secara benar, sebab kalau tidak demikian, pengetahuan
Teologis yang disusun secara sistematik dapat dipandang sama ilmiahnya dengan ilmu
pengetahuan alam (natural science), untuk lebih jelasnya dapat dilihat
M. Atho Mudzhar. Pendekatan Study Islam; dalam Teori dan Praktek
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998), cet. ke-1, hal. 34.
[11] H.A.
Reason, The Road Modern Science, (London: G. Bell and Science, 1959), cet.
ke-3, hal. 1-2.
[12] Walaupun
defenisi ini dirasa belum memuaskan, namun setidaknya defenisi ini dapat memberikan
pengertian pendekatan ilmiah secara sederhana.
[13] Abdul Madjid bin Azis Azis
al-Zindani, Mukjizat al-Qur’an dan al-Sunnah tentang Iptek, (Jakarta:
Gema Insani Press, 1997), cet. ke-1, hal. 192.
[14] Yusuf Qardawi, As-Sunnah
sebagai Sumber Iptek dan Peradaban,
(Jakarta: Pustaka Kautsar, 1998), cet. ke-1,
hal. 221.
[15] Al-Bukhāriy, jilid II, juz IV, op.
cit., hal. 443.
[16] Abdul Malik Ali al-Kulaib, ‘Alâmah
al-Nubuwwah, diterjemahkan oleh Abu Fahmi dengan Judul Nubuwwah
(Tanda-tanda Kenabian), (Jakarta: Gema Insani Press, 1992), Cet. ke-1, hal.
124.
[17] Yusuf Qardhawiy, Kaifa
Nata’ammal ma’a al-Sunnah al-Nabawiyah, diterjemahkan oleh Muhammad
al-Baqir dengan judul Bagaimana Memahami Hadis Nabi SAW, (Bandung: Kharisma, 1994), cet. ke-3, hal.
23.
[18] Ahmad Ramali, Peraturan Untuk
Memelihara Kesehatan dalam Hukum Syara’ Islam, (Jakarta: Balai Pustaka, 1955), cet. ke-2, hal. 206.
[19] Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa,
loc.cit., hal. 414.
[20]
Sidi Gazalba, Sistematika Filsafat, Jilid I, (Jakarta: Bulan Bintang,
1967), cet. ke-2, hal. 15.
[21]
Suparlan Suhartono, Dasar-Dasar Filsafat “Cogito Ergo Sum” Aku Berpikir Maka
Aku Ada (Rene Descartes), (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2009), cet. ke-5, hal.
46.
[22] M.
Amin Abdullah, Antologi Studi Islam, Teori&Metodologi, (Yogyakarta:
Sunan Kalijaga Press, 2000), cet. ke-1,
hal. 8.
[23] Ibid.
[24] M. Amin Abdullah,
Islamic Studies Di Perguruan Tinggi, Pendekatan Integratif-Interkonektif,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006), cet. ke-1, hal. 13.
[27] Jamâlal-Dîn Muhammad ibn
Mukarram ibn Manzhûr al-Ifrîqî, Lisân al-‘Arab, (Riyâdh: Dâr ‘Âlam al-Kutub,
1424 H/2003 M), Juz II, hal. 348.
[28] Abû Hâmid Muhammad ibn al-Ghazâlî,
al-Mushthafâ min ‘Ilm al-Ushûl, (Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah,
t.t), juz 1, hal. 286-287.
[29] Muhammad Sa’îd Ramadhân al-Bûthî, Dhawâbith al-Mashlahah fî
al-Syarî’ah al-Islâmiyyah, (Beirut: Mu’assasah al-Risâlah, 1982), hal. 25.
[30] Disadur dari http://maizuddin.wordpress.com/2010/03/20/pemahaman-kontekstual-atas-hadis-nabi/
pada tanggal 21 Oktober 2013.
[31] Ibid.
[32] Dalam kajian ushûl al-fiqh, kajian tentang pendekatan filosofis telah
banyak ditempuh oleh ulama, antara lain Imam al-Syâthibî melalui karyanya “al-Muwâfaqât
fî Ushûl al-Syarî’ah” atau yang dilakukan oleh Syekh ‘alî Ahmad al-Jurjawî
melalui karyanya “Hikmah Al-Tasyri’ wa Falsafatuhu”. Di dalam buku-buku
tersebut, pengarangnya berusaha mengungkapkan hikmah yang terdapat di balik
ajaran-ajaran agama Islam, seperti hikmah dalam perintah tentang shalat, puasa,
haji, dan sebagainya. Ajaran agama dalam mengajarkan agar shalat berjamaah,
tujuannya antara lain agar seseorang merasakan hikmahnya hidup secara
berdampingan dengan orang lain. Dengan mengerjakan puasa misalnya, agar
seseorang dapat merasakan lapar dan menimbulkan rasa iba kepada sesamanya yang
hidup serba kekurangan, dan berbagai contoh lainnya. Abuddin Nata, loc.cit.
[33] Abu Husain Muslim bin al-Hajjaj
al-Quraisy, al-Jāmi’ al-Shahīh (Shahīh Muslim), (t. tp.: Isa al-Babi
al-Halabiy wa Syurakah, 1375 H/1955 M), juz III, hal. 1452; Abu Abdullah
Muhammad bin Ismail al-Bukhariy, al-Jāmi’ al-Shahīh (Shahīh Bukhārīy),
(Beirut: Dār al-Fikr, t. th.), juz IV, hal. 234.
[34] Abu Abdullah Ahmad ibn Hambal, Musnad
Ahmad ibn Hambal (Musnad Ahmad), jilid II (Beirut: Maktab al-Islāmiy, 1398
H/17978 M), hal. 129.
[35] Ali Ahmad bin ‘Ali Ibnu Hajar
al-Asqalāniy, Fath al-Bâri Syarh Shahîh al-Bukhâriy, (t. tp: Dār al-Fikr wa Maktabah, t.
th.), hal. 114-118.
[36] Lihat Q.S. al-Hujurat: 13.
[37] M. Syuhudi Ismail, Metodologi
Penelitian Hadis Nabi, (Jakarta: Bulan
Bintang, 1992), hal. 40.
[38] A. Najiyullah, Kajian Kritik
HAdits Pemahaman Hadits, (Jakarta: Islamia Press, 1994), hal. 10.
[39] Yusuf Qardhawy, Kajian Kritis
Pemahaman Hadis: antara Pemahaman Tekstual dan Kontekstual, diterjemahkan
dari buku dengan judul asli “al-Madkhal li Dirâsah al-Sunnah al-Nabawiyyah”,
(Jakarta: Islamuna Press, 1994), cet. ke-1, hal. 200.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar