METODE
PENAFSIRAN AL-MÂWARDÎ
DALAM KITAB “AL-NUKAT WA AL-‘UYÛN”
DALAM KITAB “AL-NUKAT WA AL-‘UYÛN”
Diajukan untuk Dipresentasikan dalam Mata Kuliah
Manhaj Mufassirin Semester III
Jum’at, 18 Oktober 2013
Oleh
Ahmad Zakiy
NIM. 088 121737
Dosen Pembimbing
Dr. Risman Bustamam, M.Ag.
KONSENTRASI TAFSIR HADIS
PROGRAM PASCASARJANA
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
IMAM BONJOL PADANG
2013 M/1434 H
METODE PENAFSIRAN AL-MÂWARDÎ DALAM KITAB “AL-NUKAT WA
AL-‘UYÛN”
I.
PENDAHULUAN
Studi
tafsir al-Qur’an selalu berkembang sejak al-Qur’an diturunkan hinggga sekarang
ini. Munculnya berbagai kitab tafsir yang sarat dengan berbagai ragam metode
maupun pendekatan merupakan bukti nyata bahwa upaya untuk menafsirkan al-Qur’an
memang tidak pernah berhenti. Hal ini merupakan keniscayaan sejarah, karena
umat Islam pada umumnya ingin selalu menjadikan al-Qur’an sebagai mitra dialog
dalam menjalani kehidupan dan mengembangkan peradaban. Proses dialektika antara
teks yang terbatas dan konteks yang tak terbatas itulah sebenarnya yang menjadi
pemicu dan pemacu bagi perkembangan tafsir.
Munculnya
berbagai macam corak dan karakteristik penafsiran disebabkan oleh banyak
faktor, antara lain adalah adanya perbedaan situasi sosio-historis dimana
seorang mufassir hidup. Bahkan situasi politik yang terjadi ketika mufassir
melakukan kerja penafsiran juga sangat kental mewarnai produk-produk
penafsirannya. Selain itu, perbedaan dan corak penafsiran itu juga disebabkan
perbedaan keahlian yang dimiliki oleh masing-masing mufassir.[1]
Faktor-faktor tersebut dikategorikan sebagai faktor eksternal. Sedangkan secara
internal, munculnya madzab-madzab tafsir antara lain berupa cakupan makna yang
dikandung oleh al-Qu’ran. Al-Qur’an itu memang multiple understanding,
mengandung kemungkinan banyak penafsiran. Sehingga pluralitas penafsiran
al-Qur’an dipandang sah-sah saja, sepanjang dapat dipertanggung jawabkan secara
ilmiah dan moral.
Di
antara ulama tafsir yang turut memperkaya turâts Islam adalah Abû
al-Hasan al-Mâwardi (974-1058 M / 364-450 H). Al-Mâwardi dipandang sebagai
tokoh pewaris terpenting dalam tradisi keilmuan Islam klasik, seperti ilmu
hadis, fiqh, politik, ekonomi, bahasa dan sastra, termasuk tafsir al-Qur’an. Dalam
bidang ilmu tafsir al-Qur’an, al-Mâwardi meninggalkan karya besarnya yang
populer dengan nama al-Nukat wa al-‘Uyûn. Untuk mengetahui lebih lanjut
tentang hal-hal yang berkaitan dengan kitab ini, terutama bagaimana metode
pengarangnya dalam menulis kitab ini, maka penulis mengangkat sebuah pembahasan
dalam bentuk makalah dengan judul: “Metode Penafsiran Al-Mâwardi dalam Kitab
Al-Nukat wa Al-‘Uyûn”. Kajian ini akan diawali dengan pembahasan
tentang biografi al-Mâwardi, dan dilanjutkan dengan pembahasan tentang kitab al-Nukat
wa al-‘Uyûn karangan al-Mâwardî.
II.
PEMBAHASAN
A.
BIOGRAFI
AL-MÂWARDÎ
1.
ASAL
USUL KELUARGA AL-MÂWARDI
Nama
lengkap al-Mâwardî adalah Abû al-Hasan ‘Alî ibn Muhammad ibn Habîb al-Mâwardî
al-Bashrî al-Syâfi’î al-Baghdâdî[2].
Al-Mâwardî merupakan nisbat kepada mâ’ al-ward (mâ’: air; al-ward:
mawar), yaitu sebutan untuk profesi yang digeluti oleh keluarga al-Mâwardî
sebagai pembuat dan penjual air bunga mawar.[3]
Sedangkan al-Bashrî merupakan nisbat kepada tempat kelahirannya, yaitu kota Bashrah.
Sebutan al-Syâfi’î menunjukkan bahwa ia merupakan pengikut mazhab Syâfi’i,
bahkan dianggap sebagai salah seorang ulama Syafi’iyyah yang terkemuka.[4]
Sementara al-Bagdâdî merupakan nisbat kepada tempat al-Mâwardi menghabiskan
lebih banyak masa hidupnya hingga ia wafat di sana, yaitu kota Baghdad.
Al-Mâwardi
juga mempunyai nama kun-yah (julukan), yaitu: Abû al-Hasan, dengan laqb
(gelar) aqdhâ al-qudhât (semacam hakim agung sekarang). Yâqût
al-Hamawî menyebutkan bahwa gelar aqdhâ al-qudhât ini diterimanya pada tahun
429 H.[5]
Al-Mâwardi
lahir di kota Bashrah pada tahun 364 H, atau bertepatan dengan tahun 974 M.
Walaupun lahir di kota Bashrah, namun ia tumbuh dan besar di kota Baghdad. Ia
lebih banyak menghabiskan masa hidupnya di kota Baghdad, hingga akhirnya di kota
ini pula ia wafat. Ia wafat pada tahun 450 H, atau bertepatan dengan tahun 1058
M, dalam usia 86 tahun.[6]
2.
SITUASI
SOSIO-HISTORIS PADA MASA AL-MÂWARDÎ
a)
Aspek
Politik Pemerintahan
Telah
diuraikan sebelumnya bahwa al-Mâwardî hidup dari tahun 364 H sampai dengan tahun
450 H. Ini berarti ketika itu pemerintah Islam berada di bawah kekuasaan
dinasti Buwaihiyyah.[7]
Dinasti Buwaihiyyah berhasil menaklukkan daerah-daerah yang sebelumnya berada
di bawah kekuasaan dinasti ‘Abbasiyah. Namun dengan kekuatan militer yang
dimiliki, dinasti Buwaihiyyah dengan mudah menaklukkan daerah-daerah tersebut.
Dinasti
Buwaihiyyah tidak puas hanya dengan menaklukkan wilayah geografis saja, mereka
juga berambisi menaklukkan para khalifah ‘Abbasiyah itu sendiri. Pada akhirnya,
mereka berhasil membuat para khalifah hanya menjadi lambang saja, sementara kekuasaan
yang sesungguhnya berada di tangan dinasti Buwaihiyyah.[8]
Ini berarti kekhalifahan di Baghdad sudah berada di bawah bayang-bayang para
amir Buwaihi. Maka secara de facto, mereka inilah yang berkuasa
menentukan kebijakan negara, sedangkan khalifah hanya dijadikan sebagai simbol.
Para
amir dinasti Buwaihî merupakan penganut mazhab syi’ah yang sangat fanatik.
Mereka sering mengadakan perayaan-perayaan dan acara-acara keagamaan yang banyak
mengandung bid’ah, seperti perayaan hari ghadîr khum dan peringatan hari
‘âsyûrâ’. Para wanita ketika itu juga diperintahkan untuk keluar dari
rumah dan pergi ke pasar dalam keadaan kepala tertunduk sebagai tanda
penyesalan, sambil memukul-mukul dada dan merobek-robek selendangnya. Dan
hal-hal lain yang penuh dengan praktek bid’ah dan khurafat syi’ah. Semua itu
dilakukan atas perintah para amir dinasti Buwaihiyyah, terutama pada masa
pemerintahan Mu’iz al-Daulah ibn Buwaih.[9]
b)
Aspek
Sosial Kemasyarakatan
Aspek
sosial kemasyarakatan sangat erat kaitannya dengan aspek politik pemerintahan.
Jika aspek politik berkaitan dengan pemerintah dan penguasa, maka aspek sosial
kemasyarkatan merupakan hal-hal yang berkaitan dengan kondisi internal masyarakat
tersebut. Tentu kondisi sosial kemasyarakatan di suatu daerah mempengaruhi
kondisi pemerintahan yang ada, baik positif maupun negatif. Adapun kondisi
sosial kemasyarakatan yang terjadi pada masa al-Mâwardî adalah sebagai berikut:
-
Mulai melemahnya
mazhab ahlu al-sunnah dan mulai munculnya kekuatan syi’ah di bawah kekuasaan dinasti
Buwaihiyyah.[10]
-
Mulai hilangnya
wibawa sulthân dan merajalelanya kriminalitas berupa pencurian, perampasan dan demonstrasi-demonstrasi
di dalam negeri.
-
Para sulthân dan
amîr lebih menyibukkan diri dengan kemawahan duniawi, dan tidak lagi
memperhatikan kepentingan rakyat.[11]
c)
Aspek
Ilmu Pengetahuan
Telah
diakui bahwa pada masa dinasti Abbasiyah, ilmu pengetahuan mencapai puncak
kejayaaannya atau sering diistilahkan dengan al-‘ashru al-dzahabî (masa
keemasan). Ilmu pengetahuan berkembang sangat pesat di segala bidang. Ada beberapa
faktor yang menyebabkan kemajuan ilmu pengetahuan pada masa dinasti Buwaihi, di
antaranya:[12]
1.
Warisan tradisi
dari dinasti Abbasiyah awal yang mendorong para pemikir abad berikutnya untuk
mengembangkan ilmu pengetahuan, seperti banyaknya penterjemahan, penulisan
karya ilmiah serta pen-tahqîq-an kitab-kitab sebelumnya pada masa Hârûn
al-Rasyîd dan al-Makmûn.
2.
Perhatian
khalifah dan amîr yang begitu besar terhadap pengembangan ilmu
pengetahuan. Ini dapat dilihat pada masa ‘Adhdhu al-Daulah yang memberikan
honorarium yang besar terhadap para fuqahâ’, muhadditsîn,
mutakallimîn, ahli nahwu, pujangga, sastrawan, dokter, ahli hisab,
arsitek dan lain-lain.
Kemajuan
dalam bidang ilmu pengetahuan itu berlangsung cukup lama hingga masa
pemerintahan dinasti Abbasiyah berakhir. Pada masa inilah al-Mâwardî dan
sejumlah ulama lainnya hidup, Mereka ahli dalam berbagai disiplin ilmu, seperti
sastra, fiqh, hadis, dan tafsir. Hal ini memberikan pengaruh besar bagi khazanah
intelektual ketika itu.
3.
RIWAYAT
PENDIDIKAN DAN KARIR AL-MÂWARDÎ
a)
Riwayat
Pendidikan
Dalam
masa pendidikannya, al-Mâwardi tidak mengunjungi banyak negeri sebagaimana
kebiasaan yang dilakukan oleh ulama-ulama terdahulu. Ia hanya melakukan
pengembaraan untuk mencari ilmu kepada ulama-ulama yang ada di sekitar Bashrah
dan Baghdad saja.
Pada
awalnya al-Mâwardî menempuh pendidikannya di daerah kelahirannya sendiri, yaitu
Bashrah. Di kota tersebut al-Mâwardî untuk pertama kali belajar kepada Abû
al-Qâsim al-Shaimirî, seorang ulama terkenal Bashrah ketika itu. sempat
mempelajari hadits dari beberapa ulama terkenal, seperti Muhammad al-Munqîrî,
Hasan ibn ‘Alî al-Jabalî, dan sebagainya.[13]
Menurut pengakuan muridnya, Ahmad ibn ‘Alî al Khathîb al-Baghdâdî, bahwa dalam
bidang al-Hadîts, al-Mâwardî termasuk “tsiqat”.[14]
Setelah
beberapa lama belajar di Bashrah, al-Mâwardi kemudian merantau ke kota Baghdad
untuk melanjutkan pendidikannya. Di kota inilah ia lebih banyak menghabiskan
waktunya untuk mempelajari dan mendalami berbagai ilmu keislaman dari
ulama-ulama besar di sana. Di Baghdad, ia bertemu dengan Imam Za’farâni, dan
belajar hadis serta fiqh darinya. Ia juga bergabung dengan halaqah-halaqah
pengajian Syeikh Abû al-Hâmid al-Isfarâyaynî untuk menambah pengetahuannya.[15]
Berkat asuhan syeikh Abû al-Hamîd al-Isfarâyaynî ini, al-Mâwardî kemudian tampil
sebagai salah seorang ahli fiqih yang terkemuka dari mazhab Syafi’i. Keahlian al-Mâwardî
selanjutnya juga dalam bidang sastra dan sya’ir, nahwu, filsafat dan ilmu sosial,
namun belum dapat diketahui secara pasti dari mana ia mempelajari ilmu
kebahasaan tersebut.[16]
b)
Karir
Berkat
keahliannya dalam bidang hukum Islam, al-Mâwardi dipercaya untuk memegang
jabatan sebagai hakim di beberapa kota, seperti di Ustuwa dalam kawasan
Naisâbûr (daerah Iran sekarang) dan di Baghdad. Dalam hal ini al-Mâwardi pernah
diminta oleh penguasa pada saat itu untuk menyusun kompilasi hukum dalam mazhab
Syafi’i, yang selanjutnya dinamakan al-Iqra’. Pada masa al-Qadir
berkuasa (381 H/991 M – 423 H/1031 M), karir al-Mâwardi meningkat setelah ia
menetap kembali di Baghdad.
Pada
tahun 423 H, al-Qâdir wafat. Maka anaknya al-Qâ’im menggantikannya sebagai
khalifah. Karir al-Mâwardi pada masa khalifah al-Qâ’im (1031-1074 M) semakin
meningkat. Ia mulai menampakkan perannya yang penting dalam pemerintahan
khalifah. Ia senantiasa berkecimpung dalam politik pemerintahan dengan menjadi
utusan khalifah untuk mengambil bai’ah dari rakyat. Di samping itu, pada saat
itu juga ia diserahi tugas sebagai duta diplomatik untuk melakukan negosiasi dalam
menyelesaikan berbagai persoalan dengan berbagai tokoh pimpinan dari kalangan
Bani Buwaihi dan Seljuk (Iran). Pada waktu itu ia mendapat gelar sebagai aqdhâ
al-qudhât (hakim agung).[17]
Sepanjang
al-Mâwardî menjabat sebagai qâdhî, ia dapat mengetahui keadaan
keseharian masyarakat umum dan berinteraksi dengan mereka lebih dekat lagi. Ia
juga dapat menyelami dan memutuskan perkara-perkara adat kebiasaan untuk
disesuaikan dengan panduan syar’i. Dari jabatan qâdhî, pangkatnya
dinaikkan ke jabatan yang lebih tinggi dalam tugas pemerintahan negara.
Di
sinilah ia dapat mendekati pembesar-pembesar dan pemimpin negara. Mereka
menjadikan al-Mâwardî sebagai tempat rujukan ketika menghadapi berbagai
persoalan. Khalifah al-Qâ’im pernah mengutus al-Mâwardî tahun 428 H untuk
menjadi penengah antara Jalâl al-Daulah dengan Abû Kalijar. Melalui perundingan
inilah perdamaian antara kedua belah pihak pada tahun 429 H terlaksana. Dalam
majelis-majelis resmi kerajaan, al-Mâwardî senantiasa mendapat tumpuan dan
kedudukan yang tinggi di kalangan pembesar-pembesar negara, seperti pada
pernikahan khalifah Amru Allâh dengan Khadijah binti Akhi Sulthân Ta’gharbalak
pada tahun 448 H[18].
4.
GURU-GURU
AL-MÂWARDÎ
Walaupun
al-Mâwardî tidak menuntut ilmu[19]
ke berbagai daerah, namun ia telah belajar kepada banyak ulama di sekitar
Bashrah dan Baghdad. Di antara guru-guru al-Mâwardi adalah:[20]
a)
Al-Shaimirî,
nama lengkapnya adalah: Abû al-Qâsim ‘Abd al-Wâhid ibn al-Husein al-Bashrî. Al-Mâwardi
belajar darinya ilmu fiqh. Al-Shaimirî wafat pada tahun 386 H.
b)
Al-Isfirâyanî,
nama lengkapnya adalah: ‘Abd Allâh Muhammad al-Bukhârî, Al-Syaikh al-Imâm Abû
Muhammad al-Bâqî. Al-Mâwardi belajar darinya ilmu fiqh. Al-Bâqî wafat pada
bulan Muharram tahun 398 H.
c)
Al-Hasan ibn ‘Alî
ibn Muhammad al-Jabali. Al-Mâwardi belajar darinya ilmu hadis.
d)
Ja’far ibn
Muhammad al-Fadhl ibn ‘Abd Allâh Abû al-Qâsim al-Daqâq, atau lebih populer
dengan sebutan Ibn al-Mârastânî al-Baghdâdî. Al-Mâwardi belajar darinya
ilmu hadis. Ia wafat pada tahun 387 H.
e)
Muhammad ibn
‘Addiy ibn Zuhr al-Munqîrî. Al-Mâwardi belajar darinya ilmu hadis.
f)
Muhammad ibn
al-Mu’allâ ibn ‘Ubaid Allâh, Abû ‘Abd Allâh al-Asadî al-Uzdî al-Nahwî,
al-Lughawî. Al-Mâwardi belajar darinya ilmu bahasa Arab.
5.
MURID-MURID
AL-MÂWARDÎ
Di
tengah-tengah kesibukannya sebagai qâdhî, al-Mâwardi juga sempat
meluangkan waktunya untuk mengajar selama beberapa tahun di Bashrah dan
Baghdad. Di antara murid-muridnya adalah:[21]
a)
Al-Khathîb
al-Baghdâdî, nama lengkapnya adalah: Abû Bakr Ahmad
ibn Tsâbit ibn Ahmad ibn Mahdî, seorang al-hafîzh dan ahli hadis
terkenal. Ia wafat tahun 463 H.
b)
Ibnu Khairûn,
nama lengkapnya adalah: Abû al-Fadhl Ahmad ibn al-Husein, atau lebih populer
dengan sebutan Ibnu al-Bâqillânî. Ia wafat pada tahun 488 H.
c)
‘Abd al-Malik
ibn Ibrâhîm ibn Ahmad Abû al-Fadhl al-Hamdzânî, atau lebih populer dengan sebutan
al-Maqdisî. Ia wafat pada tahun 489 H.
d)
‘Alî ibn
al-Husein ibn ‘Abd Allâh al-Rab’î, atau lebih populer dengan sebutan Ibnu ‘Arabiyyah.
Ia wafat pada tahun 502 H.
e)
Muhammad ibn
Ahmad ibn ‘Abd al-Bâqî ibn al-Husein ibn Muhammad ibn Thûq ‘Abd al-Fadhâ’il
al-Rab’î al-Mûshilî. Ia wafat pada tahun 494 H.
f)
Ahmad ibn ‘Abd
Allâh ibn Muhammad ibn Hamdân, atau lebih populer dengan sebutan Ibnu Kâdisy
al-Baghdâdi. Ia wafat tahun 526 H.
g)
Ahmad ibn ‘Alî
ibn Badrân Abû Bakr al-Hilwânî. Di samping sebagai murid, al-Mâwardi
juga sempat berguru kepada al-Hilwâni dalam bidang ilmu hadis. Ia wafat tahun
507 H.
h)
‘Abd al-Rahmân
ibn ‘Abd al-Karîm ibn Hawâzin, Abû Manshûr al-Qusyairî. Di samping
sebagai murid, al-Mâwardi juga sempat berguru kepada al-Qusyairî dalam bidang
ilmu hadis. Ia wafat tahun 482 H.
6.
PANDANGAN
ULAMA TERHADAP AL-MÂWARDÎ
a)
Mazhab
Fiqh Al-Mâwardî
Al-Mâwardî merupakan seorang ulama yang
ulung dan seorang ahli fiqih bermazhab Syafi’i. Tidak hanya itu, ia juga
dianggap sebagai ulama pembela mazhab, mempunyai intelektualitas tinggi bahkan
menjadi salah satu tokoh dalam mazhab Syafi’i itu sendiri. Kredibilitas
al-Mâwardi dalam hifzh (hafalan hadis), fiqh, dan ke-‘adâlah-an
telah diakui oleh banyak ulama, seperti Abû Ishâq al-Syirâzî, al-Khathîb
al-Baghdâdî, al-Subkî, dan lain-lain.
Abû Ishâq al-Syirâzî mengatakan:
“Ia adalah seorang pembela mazhabnya”.
Tentang kedudukan al-Mâwardî dalam
mazhab fiqih, al-Khathîb al-Baghdâdî mengatakan bahwa gurunya tersebut
merupakan seorang ahli fiqh mazhab Syafi’i yang terkemuka, sebagaimana
tercantum dalam kitab Târîkh Baghdâd berikut:
"كان
من وجوه الفقهاء الشافعيين،وجعل إليه ولاية القضاء ببلدان كثيرة"[23]
“Ia
merupakan salah seorang ahli fiqh mazhab Syafi’i yang terkemuka, dan ia menjadikan
mazhabnya itu sebagai pedoman dalam urusan kehakiman di berbagai daerah.
Tentang keahlian al-Mâwardî dalam bidang
al-hadîts, al-Baghdâdi mengatakan: “كتبت
عنه وكان ثقة”
(hadisnya dituliskan/diakui periwayatnya, karena ia adalah seorang tsiqah).[24]
Singkatnya, al-Mâwardî merupakan seorang
ulama yang mempunyai reputasi tinggi dan keilmuan yang luas dalam segala bidang.
Dalam kitab Thabaqât al-Syâfi’iyyah al-Kubrâ, al-Subkî mengatakan: “Al-Mâwardi
merupakan seorang imam yang mulia, mempunyai kedudukan yang tinggi dan kemampuan
intelektual yang terbentang luas dalam mazhabnya, serta menguasai segala bidang
ilmu.”[25]
b)
Mazhab
Teologi (‘Aqidah) Al-Mâwardî
Sungguhpun
al-Mâwardî tergolong sebagai penganut mazhab Syafi’i, namun dalam bidang
teologi ia juga memiliki pemikiran yang bercorak rasional. Hal ini dapat
dilihat dari pernyataan Ibn al-Shalâh[26]
yang mengatakan bahwa dalam beberapa persoalan tafsir yang dipertentangkan
antara Ahli al-Sunnah dengan Mu’tazilah, al-Mâwardî cenderung kepada
Mu’tazilah. Bahkan dalam kitab Mîzân al-I’tidal, Imam al-Dzahabi berkata
tentang al-Mâwardî: “Shaduq pada dirinya sendiri, tetapi ia seorang
penganut Mu’tazilah.”[27]
Begitu juga dalam kitab al-Mufassirûn Hayâtuhum wa Manhajuhum”, sebuah
kitab karya Muhammad ‘Alî Iyâzî yang membahas biografi mufassir dari abad ke-3
sampai abad ke-15 H. Di sana dengan terang-terangan penulis mencantumkan mazhab
al-Mâwardî dengan “الشافعي المعتزلي”[28]. Maksudnya,
al-Mâwardî dalam bidang fiqh bermazhab Syafi’i, dan dalam bidang teologi menganut
paham Mu’tazilah.
Tuduhan
seperti itu disanggah oleh banyak ulama. Al-Subki misalnya, seperti yang
dikutip oleh al-Suyûthi dalam kitab Thabaqât al-Mufassirîn, membantah
bahwa al-Mâwardi adalah penganut Mu’tazilah.[29]
Hal senada juga diungkapkan oleh Ibnu Hajar al-‘Asqalâni bahwa tuduhan
Mu’tazilah tidak pantas dialamatkan kepada al-Mâwardi.[30]
Sementara
itu, Muhammad
al-Hamûd al-Najdî dalam kitab ringkasan metodologi tafsirnya mengistilahkan aqidah
al-Mâwardî dengan: “مؤول أشعري” (pentakwil
yang berteologi Asy’arî).[31]
Walaupun al-Najdî tidak menjelaskan maksud pernyataannya ini, namun dapat
dipahami bahwa al-Mâwardî berteologi Asy’arî. Dalam metodologi kalam asy’arî, di
samping menggunakan sumber primer berupa teks-teks suci dari al-Qur’an dan
al-Sunnah, juga menggunakan metode rasional. Hal ini pula yang tampak dalam teologi
al-Mâwardî, di mana ia tidak hanya menggunakan dalil dari al-Qur’an dan
al-Sunnah, tetapi juga menggunakan ijtihad (metode rasional). Dengan kata lain,
ia menggunakan akal dan naqal secara seimbang. Selain itu, teologi asy’arî pada
hakikatnya merupakan bentuk kesinambungan dari faham Sunnî. Paham sunnî
dalam Islam disebut juga “Ahli Sunnah wa al-Jamâ’ah”, dengan watak utamanya
netral dalam politik dan moderat dalam faham keagamaan[32].
Agaknya, paham ini juga pantas dialamatkan pada al-Mâwardî, sehingga ia pun
dapat pula dikatakan bahwa ia menganut paham sunnî (ahli sunnah wa
al-jamâ’ah).[33]
7.
KARYA-KARYA
AL-MÂWARDÎ
Selain sebagai seorang ulama yang waktunya
banyak digunakan untuk keperluan pemerintahan dan mengajar, al-Mâwardi juga
tercatat sebagai ulama yang banyak melahirkan karya-karya tulisannya dengan
ikhlas. Menurut cacatan sejarah bahwa al-Mâwardi memiliki karya ilmiah tidak
kurang dari 12 judul yang secara keseluruhan dapat dibagi ke dalam tiga
kelompok ilmu pengetahuan.
a)
Pertama,
kelompok pengetahuan agama
Karya
al-Mâwardi yang termasuk ke dalam kelompok ini antara lain kitab tafsir berjudul
“al-Nukat wa al-‘Uyûn”. Buku ini yang sedang dikaji dalam pembahasan
kali ini. Masih dalam bidang tafsir dan ‘ulûm al-Qur’an, al-Mâwardî mengarang
kitab “Amtsâl al-Qur’ân”. Selanjutnya buku berjudul “al-Hâwî al-Kabîr”,
yaitu buku fiqih dalam mazhab Syafi’i yang memuat 4000 halaman dan disusun
dalam 20 bagian. Menurut informasi, buku ini sedang dikumpulkan naskahnya yang
tersebar di berbagai negara Arab untuk dipublikasikan. Masih juga dalam bidang
pengetahuan agama, tercatat kitab “al-Iqra’” yang berisi ringkasan dari
kitab Al Hawy dan ditulis dalam 40 halaman. Kemudian kitab “Adab al-Qâdhî”
yang naskahnya berada di perpustakaan Sulaimaniyah di konstanturiah; dan kitab “A’lam
al-Nubuwwah” yang naskahnya masih tersimpan di Dâr al Kutub al-Mishriyyah.[34]
b)
Kedua,
kelompok pengetahuan tentang politik dan kenegaraan
Buku
yang temasuk ke dalam kelompok pengetahuan tentang politik dan ketatanegaraan
ini adalah “al-Ahkâm al-Sulthâniyyah”, “Nashîhat al-Muluk”, “Tashîl
al-Nazhar wa Ta’jîl al-Zhafar” dan “Qawânîn al-Wizârah wa al-Siyâsât al-Malik”.
Kitab al-Ahkâm al-Sulthâniyyah termasuk karya al-Mâwardî yang paling populer di
kalangan dunia Islam. Buku ini berisi tentang pokok-pokok pikiran mengenai
ketatanegaraan seperti tentang jabatan khalifah dan syarat-syarat bagi mereka
yang dapat diangkat sebagai khalifah dan para pembantunya, baik pemerintahan
pusat maupun pemerintahan daerah serta perangkat-perangkat ketatanegaraan
lainnya. Buku ini telah diterbitkan di beberapa negara dan telah dialih
bahasakan. Sementara itu kitab Nashîhat al-Muluk berisi nasihat bagi seorang
pemimpin. Sedangkan Tashîl al-Nazhar wa Ta’jîl al-Zafar adalah sebuah buku yang
berisi masalah politik dan ragam pemerintahan. Selanjutnya kitab Qawânîn
al-Wizârah wa al-Siyâsât al-Malik berisi uraian mengenai ketentuan kementrian
dan politik raja.[35]
c)
Ketiga,
kelompok pengetahuan bidang akhlak
Buku
yang termasuk ke dalam kelompok pengetahuan bidang akhlak ini diantaranya kitab
“al-Nahwu”, “al-Awsath wa al-Hikam” dan “al-Bughyah al-‘Ulyâ
fî Adab al-Dunyâ wa al-Dîn”. Buku al-Nahwu berisis uraian mengenai tata
bahasa dan sastra yang telah diteliti oleh Yâqût al-Hamamî. Sedangkan kitab al-Awsath
wa al-Hikam berisikan 300 hadits, 300 hikmah, 300 buah syair. Sementara itu
kitab al-Bughyah al-‘Ulyâ fî Adab al-Dunyâ wa al-Dîn merupakan kitab yang amat
populer hingga sekarang dan dikenal sebagai kitab Adab al-Dunyâ wa al-Dîn.[36]
Kitab
Adab al-Dunyâ wa al-Dîn dinilai sebagai buku yang amat bermanfaat. Buku ini
pernah ditetapkan oleh Kementrian Pendidikan di Mesir sebagai buku pegangan di
sekolah-sekolah Tsanawiyah selama lebih dari 30 tahun. Selain di Mesir, buku
ini diterbitkan pula beberapa kali di Eropa. Sementara itu seorang ulama Turki
bernama Hawâ’is Wafâ ibn Muhammad ibn Hammâd ibn Khalîl ibn Dâwûd al-Zarjani
pernah mensyarahkan buku ini dan diterbitkan pada tahun 1328 H.[37]
B.
STUDI
KITAB “AL-NUKAT WA AL-‘UYÛN” KARYA AL-MÂWARDÎ
1.
DATA
UMUM KITAB
Kitab
yang akan dibahas dalam kajian ini adalah kitab “al-Nukat wa al-‘Uyûn”
karangan al-Mâwardî. Data selengkapnya tentang kitab ini dapat dilihat sebagai
berikut:
Nama
Kitab
|
:
|
“Al-Nukat
wa al-‘Uyûn” (juga populer disebut “Tafsîr
al-Mâwardî”)
|
Pengarang
|
:
|
Abû
al-Hasan ‘Alî ibn Muhammad ibn Habîb al-Mâwardî al-Bashrî
|
Bahasa
|
:
|
Arab
|
Jumlah
Jilid
|
:
|
6
Jilid
|
Jumlah
Halaman
|
:
|
-
548 Halaman (Jilid
I)
-
512 Halaman (Jilid
II)
-
477 Halaman (Jilid
III)
-
480 Halaman (Jilid
IV)
-
531 Halaman (Jilid
V)
-
380 Halaman (Jilid
VI)
|
Penerbit
|
:
|
Dâr
al-Kutub al-‘Ilmiyyah
|
Tempat
Terbit
|
:
|
Beirut,
Libanon
|
Tahun
Terbit
|
:
|
1412
H/1992 M
|
Cetakan
|
:
|
Ke-1
|
Ditahqîq oleh
|
:
|
Al-Sayyid
ibn ‘Abd al-Maqshûd ibn ‘Abd al-Rahîm
|
2.
SEBAB
PENAMAAN
Kitab ini berjudul “al-Nukat wa
al-‘Uyûn”, atau biasa juga disebut dengan “Tafsîr al-Mâwardî”. Sebutan
“Tafsîr al-Mâwardî” bukanlah sebutan asli bagi kitab, melainkan sebutan yang
populer di tengah-tengah masyarakat. Sudah biasa terjadi pada kitab-kitab
umumnya, di mana nama kitab sering dinisbatkan
kepada nama pengarangnya.[38]
Lain halnya dengan sebutan “al-Nukat
wa al-‘Uyûn”, asal usul penamaan kitabnya ini tidak dapat diketahui dengan
mudah, karena tidak ada pernyataan langsung dari pengarang mengapa ia menamakan
kitabnya dengan “al-Nukat wa al-‘Uyûn”. Selain itu, tidak dapat pula diketahui
dengan pasti apakah penamaan ini berasal dari al-Mâwardî sendiri atau bukan.
Namun al-Dzahabî dalam kitabnya “Siyar A’lâm al-Nubalâ’” mengatakan
bahwa al-Mâwardî-lah yang menamakan kitabnya “al-Nukat wa al-‘Uyûn”.
Berikut pernyataannya:
"وله
تفسير القرآن سماه : "النكت"..."[39]
“Ia mempunyai kitab tafsir al-Qur’an yang ia beri
nama: ‘al-Nukat’”.
Untuk menjelaskan pernyataannya ini, al-Dzahabî
kemudian melanjutkan:
وقيل: إنه لم يظهر شيئا من تصانيفه في حياته، وجمعها في موضع، فلما دنت
وفاته، قال لمن يثق به: الكتب التي في المكان الفلاني كلها تصنيفي، وإنما لم
أظهرها لأني لم أجد نية خالصة، فإذا عاينت الموت، ووقعت في النـزع، فاجعل يدك في
يدي ، فإن قبضت عليها وعصرتها ، فاعلم أنه لم يقبل مني شيء منها، فاعمد إلى الكتب،
وألقها في دجلة وإن بسطت يدي، فاعلم أنها قبلت. قال الرجل: فلما احتضر وضعت يدي في يده،
فبسطها، فأظهرت كتبه. [40]
Dari
keterangan di atas, ada pendapat yang mengatakan bahwa karya-karya tulis
al-Mâwardî belum muncul di masa hidupnya. Namun ia hanya sebatas mengumpulkan dan
menyimpan karya-karyanya itu pada suatu tempat. Maka menjelang kematiannya, ia
berwasiat kepada salah seorang yang ia percayai: “Kitab-kitab yang ada di
tempat si Fulan itu merupakan hasil karya tulisku. Hanya saja aku belum pernah menampilkannya
(di khalayak umum) karena aku merasakan niatku belum ikhlas. Saat ini aku
berada di ambang kematian, dan kegelisahan menggelayutiku (tentang kitab-kitab
itu). Taruhlah tanganmu di tanganku. Pada saat aku menggenggamnya dengan kuat,
maka artinya tidak satupun kitab-kitab itu yang diterima dariku. Segeralah cari
kitab-kitab itu, dan temukanlah ia pada suatu peti. Begitu aku lepaskan
genggaman tanganku, maka artinya kitab-kitab itu telah diterima.”
“Orang
itupun berkata: “Ketika ia baru saja meninggal, aku letakkan tanganku di
tangannya, lalu lepaslah genggaman tangannya. Tak lama kemudian, aku tampilkan
kitab-kitabnya (kepada khalayak umum).”
Jika
pernyataan yang dikutip oleh al-Dzahabi ini benar adanya, maka hal ini menjadi
bukti bahwa al-Mâwardî sendirilah yang menamakan kitabnya dengan “al-Nukat wa
al-‘Uyûn”. Ditambah lagi, kondisi kitab ini telah selesai ditulis oleh
al-Mâwardî di kala ia masih hidup, maka tidak mungkin seseorang yang telah
menyelesaikan sebuah kitab tidak menuliskan judul kitab yang ia tulis itu.
Selain
itu, jika dilihat dari pernyataan orang kepercayaan al-Mâwardî yang mengatakan
bahwa begitu al-Mâwardî wafat, ia langsung me-launching karya-karya
tulis al-Mâwardî ke khalayak umum. Dari sini tampak tidak adanya aktifitas penyaduran
atau perubahan judul kitab yang dilakukan oleh orang lain setelah al-Mâwardî
wafat, karena al-Mâwardî berpesan agar kitab-kitab tersebut segera di-launcing
begitu ia wafat. Maka wajar apabila orang yang diberikan wasiat tersebut
segera menunaikannya, tidak menunggu lama-lama dan tidak mengutak-atik
kitab-kitab yang diwasiatkan tersebut.
3.
LATAR
BELAKANG PENULISAN
Untuk
mengetahui latar belakang penulisan kitab ini, setidaknya dapat dilihat dalam
muqaddimah kitab yang ditulis oleh al-Mâwardî sendiri sebagai berikut:
"... وجعل ما استودعه على نوعين: ظاهراً جلياً وغامضاً خفياً يشترك
الناس في علم جلية ويختص العلماء بتأويل خفية حتى يعم الإعجاز، ثم يحصل التفاضل والامتياز.
ولما كان ظاهر الجلي مفهوما بالتلاوة، وكان الغامض الخفي لا يعلم إلا من وجهين: نقل
واجتهاد. جعلت كتابي هذا مقصورا على تأويل ما خفي علمه، وتفسير ما غمض تصوره وفهمه..." [41]
Dari
keterangan di atas, dapat diketahui dengan jelas hal-hal apa yang melatarbelakangi
penulisan kitab al-Nukat wa al-‘Uyûn. Berawal dari fakta bahwa tidak semua ayat
dalam al-Qur’an dapat dipahami dengan mudah maknanya. Maka al-Mâwardî pun membagi
ayat al-Qur’an ke dalam dua jenis: ada ayat yang zhahîr dan jelas (ظاهر جليّ), sehingga mudah dipahami oleh masyarakat awam. Dan ada pula
ayat yang tersembunyi dan sulit dipahami maknanya (غامض خفيّ), di sinilah ulama berperan khusus untuk memberikan pemahaman yang
benar terhadap ayat tersebut.
Kemudian
al-Mâwardî melanjutkan perkataannya bahwa terhadap ayat-ayat yang zhahîr dan
jelas, dapat dipahami dengan hanya sekedar membacanya saja. Namun terhadap
ayat-ayat yang tersembunyi dan sulit dipahami maknanya, al-Mâwardî menawarkan
dua cara, yaitu: naql (riwayat) dan ijtihâd (rasional). Inilah
yang membuat al-Mâwardî merasa terpanggil jiwanya untuk ikut berkontribusi dengan
cara menulis sebuah kitab yang memuat kumpulan-kumpulan ta’wîl dan tafsîr[42]
terhadap ayat-ayat yang tersembunyi dan sulit dipahami maknanya tersebut.
4.
SUMBER
PENAFSIRAN
Dalam
menulis kitab ini, al-Mâwardî mengambil referensi kepada kitab-kitab ulama
sebelumnya. Kitab-kitab yang menjadi rujukan utama al-Mâwardî antara lain:
a.
Kitab-Kitab
Tafsir
Kitab “Jâmi’ al-Bayân ‘an Ta’wîl Ây
al-Qur’ân” karangan Ibn Jarîr al-Thabarî merupakan kitab tafsir yang
menjadi referensi utama dalam tafsir Al-Mâwardî.[43]
Banyak sekali ayat-ayat al-Qur’an yang ditafsirkan al-Mâwardî merujuk kepada
kitab al-Thabarî ini. Misalnya saja, dalam menafsirkan Surat al-Nisâ’ [4]: 34
berikut:
...£`èdrãàf÷d$#ur
Îû
ÆìÅ_$ÒyJø9$#
£`èdqç/ÎôÑ$#ur...
“…pisahkanlah
mereka di tempat tidur mereka…”
Potongan
ayat tersebut dikomentari oleh al-Mâwardî dengan mengemukakan lima pendapat, dan
pada point ke-5 al-Mâwardî mengutip pendapat al-Thabarî sebagai berikut:
والخامس:
هو أن يربطها بالهجار وهو حبل يربط به البعير ليقرها على الجماع، وهو قول أبي جعفر
الطبري. [44]
Kelima, istrinya
diikat dengan “al-hajjâr”, yaitu sejenis tali pengikat unta agar ia tidak lepas
ketika pembuahan. Ini adalah pendapat Abû Ja’far al-Thabarî.
b.
Kitab-Kitab
Qirâ’at
Al-Mâwardî
sangat memperhatikan bidang qirâ’at di dalam tafsirnya. Di dalam beberapa ayat,
hampir tidak luput dari pembahasannya tentang qirâ’at. Hanya saja, ia tidak
menyebutkan satu pun nama kitab yang menjadi rujukannya dalam bidang qirâ’at
tersebut. Walaupun demikian, ia tetap menyebutkan nama pengarang, sedangkan nama
kitab tidak ia sebutkan[45].
Dalam
bidang qirâ’at, al-Mâwardî berpedoman kepada kitab-kitab yang mu’tabar, seperti kitab “al-Qirâ’ât”
karangan Abû ‘Ubaid al-Qâsim ibn Salâm,[46]
kitab “al-Qirâ’ât” karangan Abû Hâtim al-Sijistânî,[47]
termasuk juga kitab “Jâmi’ al-Bayân ‘an Ta’wîl Ây al-Qur’ân” karangan
al-Thabarî[48] yang
memuat lebih dari 20 jenis qirâ’at, dan lain-lain.
c.
Kitab-Kitab
Hadis/Atsar
Tafsîr
al-Mâwardî didominasi oleh metode tafsîr bi al-ma’tsûr, maka wajar bila kitab
ini sangat memperhatikan riwayat hadis-hadis Nabi ketika menafsirkan ayat-ayat
al-Qur’an. Begitu juga dengan riwayat yang berasal dari atsar shahabat, seperti
‘Alî ibn Abî Thâlib, ‘Abd Allâh ibn Mas’ûd, ‘Abd Allâh ibn ‘Abbâs, dan
lain-lain. Terkadang ia melontarkan kritikan dan penolakan terhadap beberapa
atsar shahabat tersebut. Misalnya: penolakannya terhadap riwayat Ibn Mas’ûd
yang tidak memasukkan Surat al-Falaq dan al-Nâs ke dalam Surat-Surat al-Qur’an.
Bahkan Ibn Mas’ûd mengatakan bahwa dua Surat itu hanyalah do’a Rasul, bukan bagian
dari al-Qur’an.[49]
Dalam
mengutip hadis, al-Mâwardî sering tidak mencantumkan jalur sanad. Penghapusan
jalur sanad bukanlah hal yang aneh dalam kitab-kitab tafsir. Al-Thabarî
misalnya, juga sering tidak mencantumkan jalur sanad di dalam kitabnya. Sementara
itu, tidak semua hadis yang dikutip oleh al-Mâwardî bernilai shahîh; ada pula
hadis hasan, bahkan di beberapa tempat terdapat hadis dha’îf. Pembahasan lebih
lanjut akan dibahas dalam sub bab “Kelebihan dan Kekurangan Kitab”.
d.
Kitab-Kitab
Bahasa dan Sastra
Aspek
kebahasaan merupakan aspek yang penting dan menjadi perhatian besar al-Mâwardî
dalam tafsirnya, bahkan ia banyak mengutip pendapat dari tokoh-tokoh bahasa
terkenal.
e.
Kitab-Kitab
Fiqh
Aspek
fiqih juga menjadi perhatian yang cukup besar oleh al-Mâwardî dalam tafsirnya. Hanya
saja ia memaparkan persoalan fiqih ini secara sederhana, tidak terlalu panjang
dan tidak terlalu pendek, sekalipun ia mempunyai track and record yang cukup
panjang di bidang ini, terutama setelah ia menjabat sebagai aqdhâ al-qudhât (hakim
agung). Di tambah lagi, ia dianggap sebagai tokoh terkemuka di masanya dalam fiqih
(mazhab Syafi’i). Namun kemampuannya itu tidak ditampakkan secara nyata dalam
tafsirnya. Dalam banyak ayat, persoalan fiqih ia kemukakan dalam bentuk
minimalis. Jika diperhatikan, perhatiannya terhadap persoalan fiqih yang paling
menonjol, tampak pada dua surat yaitu Surat al-Baqarah dan al-Nûr.
Ketika
mengemukakan persoalan fiqih dalam ayat-ayat yang mengandung hukum, ia biasanya
tidak menyebutkan dalil. Namun yang jelas, ia bukanlah orang yang fanatik (ta’ashshub)
mazhab, karena ia tidak hanya berpegang kepada mazhabnya saja, melainkan juga
menyebutkan berbagai mazhab dari ulama-ulama fiqih yang lain seperti Abû
Hanîfah, Imâm Mâlik, Imâm Ibn Hazm al-Zhâhirî, al-Tsaurî, al-Auzâ’î, Ibn Abî
Lailâ, al-Zuhrî, dan lain-lain. Hanya saja ia tidak jarang sekali mengemukakan
pendapat-pendapat dari Imâm Ahmad ibn Hanbal. Agaknya ia terpengaruh dengan
al-Thabari yang berpendapat bahwa Imam Ahmad adalah seorang ahli hadis (muhaddits),
bukan seorang ahli fiqh (faqîh).[50]
f.
Kitab-Kitab
Sejarah
Aspek
sejarah juga dikemukakan oleh al-Mâwardî dalam tafsirnya, hanya saja aspek ini
mendapatkan porsi yang sedikit. Walau demikian, al-Mâwardî mengutip dari para
ahli sejarah melalui kitab-kitabnya yang terkenal. Khusus dalam aspek sejarah,
ia kebanyakan berpedoman kepada kitab “al-Sîrah al-Nabawiyyah” karangan
Imâm Ibn Ishâq[51],
kitab “al-Maghâzî” karangan al-Wâqidî[52],
kitab “Murûj al-Dhahab” karangan al-Mas’ûdî[53],
kitab “al-Mubtada’” karangan Wahab ibn Munabbih[54],
dan lain-lain. Ia juga mengutip dari Ibn Jarîr al-Thabarî ketika membahas
tentang jumlah istri Rasulullah SAW ketika wafat[55].
5.
METODE
PENAFSIRAN
Produk
penafsiran tidak berwajah tunggal, melainkan sangat beragam seiring dengan
keragaman kecenderungan, motivasi, misi yang diemban, perbedaan kedalaman
dan ragam ilmu yang dikuasai dan perbedaan masa dan lingkungan yang mengitari seorang
mufassir. Berbagai metode dan corak tafsir pun bermunculan. Para pengamat
tafsir lalu berusaha mengelompokkan metode dan corak tafsir yang beragam itu
berdasarkan sudut tinjauan tertentu. Lahirlah kemudian metode tafsir, seperti
metode tahlīliy, ijmāliy, muqāran dan mawdhū'iy.[56]
Memperhatikan
dengan seksama pembahasan dan uraian keempat metode tafsir tersebut di atas dan
mengaitkannya dengan penafsiran al-Mâwardî dalam tafsir al-Nukat wa
al-‘Uyûn-nya dapatlah disimpulkan bahwa metode yang digunakannya masuk
dalam metode tahlîlliy, yaitu metode tafsir yang menyoroti ayat-ayat
al-Qur’an dengan memaparkan segala makna yang terkandung di dalamnya sesuai
urutan bacaan yang terdapat di dalam al-Qur’an mushaf Usmani.[57]
6.
LANGKAH-LANGKAH
PENAFSIRAN
Adapun
langkah-langkah yang ditempuh dalam kitab ini, setidaknya dapat diketahui melaui
pernyataan al-Mâwardî dalam muqaddimah tafsirnya sebagai berikut:
جعلت كتابي هذا مقصورا على تأويل ما خفي علمه، وتفسير
ما غمض تصوره وفهمه، وجعلته جامعاً بين أقاويل السلف والخلف، وموضحاً عن المؤتلف والمختلف،
وذاكراً ما سنح به الخاطر من معنى يحتمل، عبرت عنه بأنه محتمل، ليتميز ما قيلب مما
قلته ويعلم ما استخرج مما استخرجته. وعدلت عما ظهر معناه من فحواه اكتفاء بفهم قارئه
وتصور تالية، ليكون أقرب مأخذاً وأسهل مطلباً. وقدمت لتفسيره فصولا ، تكون لعمله أصولا
، يستوضح منها ما اشتبه تأويله، وخفي دليله. [58]
Dari pernyataan
di atas, dapat diketahui metode yang digunakan al-Mâwardî dalam kitabnya,
yaitu:
a) Menempuh jalan ta’wil dan tafsîr. Ta’wil di sini
sama dengan tafsir.
Ketika
menafsirkan suatu ayat, al-Mâwardi terkadang menggunakan istilah “تأويل”, misalnya yang terdapat dalam penafsiran surat al-Baqarah ayat
11 berikut ini:
قوله تعالى: "وَإِذَا قِيلَ لَهُمْ لاَ تُفْسِدُوا في الأَرضِ"،
فيه ثلاثة تأويلات: أحدها: أنه الكفر. والثاني: فعل ما نهى الله عنه ، وتضييع
ما أمر بحفظه. والثالث: أنه ممالأة الكفار. وكل هذه الثلاثة فساد في الأرض، لأن الفساد
العدول عن الاستقامة إلى ضدها. [59]
Terkadang
ia juga menggunakan istilah tafsîr, seperti terdapat dalam penafsiran
Surat al-Baqarah [2]: 249 berikut ini:
Hanya
saja, al-Mâwardî lebih sering menggunakan istilah ta’wîl dari pada tafsîr.
Oleh sebab itu, al-Mâwardi sering disebut dengan “Mu’awwil” (pentakwil),
seperti yang disampaikan oleh al-Najdî dalam kitabnya al-Qaul al-Mukhtashar
al-Mubîn fî Manâhij al-Mufassirîn.
b) Menafsirkan al-Qur’an dengan hadis/atsar (bi al-ma’tsûr)
Tafsîr
al-Mâwardî tergolong ke dalam tafsîr bi al-ma’tsûr. Maka dalam
menafsirkan suatu ayat, ia selalu menyebutkan riwayat-riwayat dari para
sahabat, tetapi ia biasanya tidak menyebutkan sanadnya. Seperti penafsiran
terhadap terhadap surat al-Baqarah ayat 183
$ygr'¯»t
tûïÏ%©!$#
(#qãZtB#uä
|=ÏGä.
ãNà6øn=tæ
ãP$uÅ_Á9$#
$yJx.
|=ÏGä.
n?tã
úïÏ%©!$#
`ÏB
öNà6Î=ö7s%
öNä3ª=yès9
tbqà)Gs?
ÇÊÑÌÈ
“Hai orang-orang
yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas
orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa”
Ayat
di atas ditafsirkan oleh al-Mâwardi dengan mengutip hadis tentang keutamaan
puasa sebagai berikut:
روي
عن النبي صلى الله عليه وسلم أنه قال: «يَقُولُ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ: كُلُّ عَمَلِ
ابنِ آدَمَ لَهُ إِلاَّ الصَّومَ فَإِنَّهُ لِي وَأَنَا أَجْزِي بِهِ، وَلَخَلُوفُ
فَمِ الصَّائِمِ أَطْيَبُ عِندَ اللهِ مَن رِيحِ المِسْكَ».
c) Melakukan tarjîh (menguatkan salah satu
pendapat)
Jika ada beberapa pendapat yang
berbeda, al-Mâwardî melakukan tarjîh, sejauh tidak kontradiktif dengan
pemahaman ayat. Hal ini terlihat seperti ketika al-Mâwardi menafsirkan surat
al-Baqarah ayat 87 berikut:[61]
"وَأَيَّدْنَاهُ بِرُوحِ
القُدْسِ"، فيه ثلاثة تأويلات: أحدها: أن روح القدس الاسم الذي يحيي به عيسى الموتى،
وهذا قول ابن عباس. والثاني: أنه الإنجيل، سماه روحاً، كما سمى الله القرآن روحاً في
قوله تعالى: "وَكَذلِكَ أَوحَينَا إِلَيكَ رُوحاً مِنْ أَمْرِنَا". والثالث:
وهو الأظهر، أنه جبريل عليه السلام، وهذا قول الحسن وقتادة، والربيع،
والسدي، والضحاك.
Dari uraian di atas dapat dipahami
bahwa al-Mâwardi melakukan satu bentuk tarjih, dengan istilah “وهو
الأظهر” (ini
pendapat yang paling kuat).
d) Tidak menjelaskan panjang lebar tentang perdebatan fiqh
Untuk kepentingan analisis dan
istinbath (penggalian) hukum. ia tetap mengemukakan persoalan fiqh dengan
sederhana, walaupun sebenarnya ilmu dan pengalamannya di bidang ini sangat
tinggi. Di samping itu, ia bukanlah seorang yang fanatik mazhab walaupun
sebenarnya ia penganut mazhab Syafi’i. Dalam penafsiran, ia tidak hanya
menyebutkan pendapat mazhabnya saja, melainkan juga menyebutkan berbagai mazhab
dari ulama-ulama fiqih yang lain seperti Abû Hanîfah, Imâm Mâlik, Imâm Ibn Hazm
al-Zhâhirî, al-Tsaurî, al-Auzâ’î, Ibn Abî Lailâ, al-Zuhrî, dan lain-lain.
7.
CORAK
PENAFSIRAN KITAB
Corak secara
sederhana berarti paham atau macam[62].
Dalam hal ini corak penafsiran adalah sekitar hubungan tafsir al-Qur’an dengan
kecenderungan yang dimiliki mufasir yang bersangkutan. Para ulama telah
mengelompokkan corak yang beragam dalam penafsiran, seperti corak bahasa
(lughawî), filsafat (falsafî), teologi (‘aqîdî), ilmiah (‘ilmî),
hukum (fiqhî), tasawuf (shûfî) dan sosial kemasyarakatan (al-adab
al-ijtimâ’î).[63]
Untuk
melihat corak tafsirnya, misalnya saja corak fiqh dapat disebut bahwa
al-Mâwardî tidak terikat dengan satu mazhab, walaupun ia sebenarnya penganut mazhab
Syâfi’i. Misalnya, dalam menafsirkan Surat al-Baqarah [2]: 158, al-Mâwardî
mengutip banyak pendapat ahli fiqh dari berbagai mazhab berikut:
"فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْهِ
أن يَطَّوَّفَ بِهِمَا"، ورفع الجناح من أحكام المباحث دون الواجبات. فذهب أبو
حنيفة على أنّ السعي بين الصفا والمروة غير واجب في الحج والعمرة منسكاً بأمرين: أحدهما:
قوله تعالى: "فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْهِ أَن يَطَّوَّفَ بِهِمَا" ورفع الجناح
من أحكام المباحات دون الواجبات. والثاني: أن ابن عباس وابن مسعود قَرَء: "فَلاَ
جُنَاحَ عَلَيْهِ أَن لاَّ يَطَّوَّفَ بِهِمَا". وذهب الشافعي، ومالك، وفقهاء
الحرمين، إلى وجوب السعي في النسكين تمسكاً بفحوى الخطاب ونص السنة، وليس في قوله:
"فَلاَ جُنَاحَ" دليل على إباحته دون وجوبه، لخروجه على سبب، وهو أن الصفا
كان عليه في الجاهلية صنم اسمه إساف ، وعلى المروة صنم اسمه نائلة...
[64]
Dari
contoh di atas, al-Mâwardî mengemukakan perbedaan pendapat antara Abû Hanîfah,
Syâfi’î, Mâlik, dan ulama fiqh al-haramain tentang persoalan wajib atau
tidaknya sa’î dalam haji. Al-Mâwardî memaparkan dalil Abû Hanîfah dari sudut
pandang zahir ayat dan dari sudut aspek qirâ’at. Ia tidak melakukan tarjîh (menguatkan
satu pendapat atas pendapat yang lain). Hanya saja ia menolak dalil Abû Hanîfah
dalam rangka membela pendapat Syafi’i.
Dalam
persoalan teologis, misalnya menyangkut tentang perbincangan ayât al-shifah,
al-Mâwardî juga berpendirian seperti dalam lapangan hukum Islam, yaitu: tidak
terikat pada salah satu paham, bahkan ada kecenderungan membiarkan paham tajassum
“berkeliaran” dalam kitabnya. Ini terlihat misalnya ketika menafsirkan QS.
al-Furqan (25) : 59 pada lafaz istawā ala al-‘arsy.
"ثُمَّ اسْتَوى عَلَى الْعَرْشِ"،
فيه قولان: أحدهما: معناه استوى أمره على العرش، قاله الحسن. والثاني: استولى على العرش،
كما قال الشاعر: قد اسْتَوَى بِشْرٌ على العِرَاقِ ... مِن غَيْرِ سَيْفٍ ودم مُهْرَاقٍ.
[65]
Dalam
tafsir di atas, al-Mâwardî menyebutkan dua pendapat tentang makna istiwâ’,
yaitu “استوى
أمره” dan “استولى”. Hanya saja makna yang
kedua ada unsur tajassum di dalamnya. Namun al-Mâwardî membiarkan
penafsiran ini berada di dalam kitabnya.
8. KELEBIHAN DAN KEKURANGAN KITAB
a. Kelebihan Kitab
Berhubung
kitab ini hampir sebagian besarnya merujuk kepada tafsir al-Thabarî, maka tidak
salah jika kitab ini mempunyai kelebihan sama halnya dengan tafsir al-Thabarî.
Kitab tafsir al-Mâwardî termasuk ke dalam kitab terbaik dalam bidang tafsir
bi al-ma’tsûr, bahkan dalam bidang tafsir bi al-ra'yi, karena
memadukan pendapat-pendapat dan mencari pendapat yang paling kuat, di samping
memuat istinbath dan wajah-wajah i’rab. Jika kitab al-Thabarî dianggap sebagai
kitab yang paling agung, paling shahih dan paling lengkap, karena memuat
pendapat sahabat dan tabi'in[66],
maka tafsîr al-Mâwardî berada pada urutan kedua di bawahnya.
b. Kekurangan Kitab
Salah
satu kekurangan kitab ini adalah bahwa al-Mâwardi telah memasukkan hadis-hadis
yang lemah di dalam kitabnya. Ada beberapa hadis yang dikutip oleh Al-Mâwardi
dalam kitabnya berkualitas dha’if. Hadis-hadis yang dipandang dha’if tersebut
di antaranya:
a)
Hadis dalam
penafsirannya terhadap “alif lâm mîm” pada ayat pertama surat al-Baqarah[67].
Dalam menafsirkan ayat ini, ia menyebutkan sebuah riwayat sebagai berikut:
عن الكلبي، عن أبي صالح،
عن ابن عباس وجابر بن عبد الله، قال: مَرَّ أبو ياسر بن أخطب برسول الله صلى الله عليه
وسلم وهو يتلو فاتحة الكتاب وسورة البقرة: "الم. ذلِكَ الكِتَابُ لاَ رَيْبَ فِيهِ..."
[68]
Tentang
hadis di atas, para ulama telah sepakat akan kedha’ifannya. Hadis tersebut
dipandang dha’if oleh ulama-ulama seperti al-Suyûthi dalam kitab al-Durr
al-Mantsûr, al-Syaukâni dalam kitab “Fath al-Qadîr”, Ibnu Katsîr, dan Ahmad
Syâkir. Namun al-Mâwardi tampak sengaja membiarkan hadis ini apa adanya, tanpa
menjelaskan bahwa hadis-hadis tersebut berkualitas dha’if di dalam kitabnya.[69]
b)
Hadis dalam
penafsiran terhadap Surat al-An’âm ayat 125. Hadis tersebut adalah sebagai
berikut:
روى عمرو بن مرة عن أبي جعفر قال: سئل رسول الله صلى الله عليه
وسلم أي المؤمنين أكْيَس؟ قال: «أَكْثَرُهُم ذِكْراً لِلْمَوتِ وَأَحْسَنُهُمْ لِمَا
بَعْدَهُ اسْتِعْدَاداً» قال: وسئل النبي صلى الله عليه وسلم عن هذه الآية: قالوا:
كيف يشرح صدره يا رسول الله؟ قال: «نُوْرٌ يُقْذَفُ فَيَنْشَرِحُ لَهُ وَيَنفَسِحُ
» قالوا: فهل لذلك أمارة يُعْرَفُ بها؟ قال: «الإِنَابَةُ إِلَى دَارِ الخُلُودِ وَالتَّجَافِي
عَنْ دَارِ الغُرورِ وَالاسْتِعْدَادِ لِلْمَوتِ قَبْلَ لِقَاءِ المَوتِ» وروى ابن
مسعود مثل ذلك.
Hadis
di atas termasuk ke dalam kategori hadis mursal, dan tidak bisa dijadikan hujjah.
Namun hal ini dibiarkan begitu saja oleh al-Mâwardi, ia tidak menjelaskan
kualitasnya hadisnya, sehingga bisa terjadi kesalahpahaman di kalangan pembaca.
Hanya saja, Ibnu Katsîr juga mencantumkan hadis ini dalam kitab tafsirnya, namun
ia menjelaskan bagaimana kualitas hadisnya lengkap dengan analisis terhadap
sanadnya. Di akhir kesimpulannya, Ibnu Katsir mengatakan bahwa hadis ini ada
yang mursal dan ada yang muttashil, maka dapat saling menguatkan satu
sama lain.[70]
Ahmad
Syâkir menolak pernyataan Ibnu Katsîr ini, karena tidak ditemukan hadis di atas
yang muttashil. Hadis tersebut benar-benar dha’if, karena diriwayatkan
oleh Abû Ja’far al-Hâsyimî. Ia dinilai sebagai pendusta dan pemalsu hadis, maka
semua hadis yang ia riwayatkan tidak dapat saling menguatkan satu sama lain.[71]
c)
Hadis dalam
penafsiran terhadap Surat al-A’râf ayat 31:
Hadis
di atas dicantumkan oleh al-Mâwardi tanpa sanad. Ahli hadis telah membahas
hadis ini, seperti al-Manâwi menyebutkan dalam kitab “Faidh al-Qadîr”,[73]
kitab yang mensyarah “al-Jâmi’ al-Shaghîr” karya al-Suyûthi. Al-Manâwi
mengatakan bahwa hadis ini dirawayatkan oleh Imam al-Dâruquthni dalam kitab “al-‘Ilal”.
Di akhir uraian ia menyatakan hadis ini lemah, sebagaimana al-Suyûthi juga
menyatakan demikian. Pendapat ini juga diikuti oleh ulama-ulama lain, seperti
Badr al-Dîn al-Zarkasyi, Ibnu al-Jauzi, Abû Hayyân, Ibnu ‘Adiy, dan al-‘Uqaili.
III.
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dari
uraian di atas, dapat disimpulkan beberapa point berikut:
1.
Abû al-Hasan
al-Mâwardi merupakan tokoh pewaris terpenting dalam tradisi keilmuan Islam
klasik, seperti ilmu hadis, fiqh, politik, ekonomi, bahasa dan sastra, termasuk
tafsir al-Qur’an. Dalam bidang tafsir al-Qur’an, al-Mâwardi meninggalkan karya
besarnya yang populer dengan nama kitab al-Nukat wa al-‘Uyûn.
2.
Al-Mawardi merupakan
penganut fiqh mazhab al-Syâfi`i, maka tafsirnya pun bercorak fiqhî. Di samping
itu, kecenderungannya menggunakan rasional dianggap oleh sebagian ulama bahwa
ia penganut paham Mu’tazilah, walaupun tidak sepenuhnya benar.
3.
Berdasarkan
sumber penafsiran, tafsir al-Mâwardi termasuk ke dalam kelompok tafsir bi
al-ma’tsûr, dengan pendekatan tafsir tahlîlî. Kitab ini bercorak fiqhî
(hukum) dan ‘aqîdî (teologi).
4.
Walaupun banyak
menuai pujian, namun tetap saja ada sebagian ulama yang mngkritik kitab
al-Nukat wa al-‘Uyûn. Salah satunya adalah terdapat beberapa hadis yang
dipandang dha’if dalam penafsirannya. Setelah diteliti, ternyata apa yang
disampaikan oleh pengkritik itu ada benarnya, untuk itu diperlukan
kehati-hatian dalam menerima hadis-hadis tersebut bagi pembaca.
B.
Kritik
dan Saran
Demikianlah
makalah ini penulis sampaikan, semoga bermanfaat dalam menambah wawasan
keilmuan bagi pembaca, terutama dalam bidang kajian tafsir. Penulis menyadari
bahwa pepatah mengatakan “tak ada gading yang tak retak”. Maka dalam makalah
inipun masih terdapat kekurangan dan kesalahan di sana-sini. Untuk itu penulis
mengharapkan kritik dan saran dari pembaca demi lebih sempurnanya makalah ini. Wallâhu
A’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar