Kamis, 21 November 2013

METODE PENAFSIRAN AL-MÂWARDÎ DALAM KITAB “AL-NUKAT WA AL-‘UYÛN



METODE PENAFSIRAN AL-MÂWARDÎ
DALAM KITAB “AL-NUKAT WA AL-‘UYÛN


Diajukan untuk Dipresentasikan dalam Mata Kuliah
Manhaj Mufassirin Semester III
Jum’at, 18 Oktober 2013




Oleh

Ahmad Zakiy
NIM. 088 121737

Dosen Pembimbing
Dr. Risman Bustamam, M.Ag.


KONSENTRASI TAFSIR HADIS PROGRAM PASCASARJANA
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
IMAM BONJOL PADANG
2013 M/1434 H



METODE PENAFSIRAN AL-MÂWARDÎ DALAM KITAB “AL-NUKAT WA AL-‘UYÛN
I.         PENDAHULUAN
Studi tafsir al-Qur’an selalu berkembang sejak al-Qur’an diturunkan hinggga sekarang ini. Munculnya berbagai kitab tafsir yang sarat dengan berbagai ragam metode maupun pendekatan merupakan bukti nyata bahwa upaya untuk menafsirkan al-Qur’an memang tidak pernah berhenti. Hal ini merupakan keniscayaan sejarah, karena umat Islam pada umumnya ingin selalu menjadikan al-Qur’an sebagai mitra dialog dalam menjalani kehidupan dan mengembangkan peradaban. Proses dialektika antara teks yang terbatas dan konteks yang tak terbatas itulah sebenarnya yang menjadi pemicu dan pemacu bagi perkembangan tafsir.
Munculnya berbagai macam corak dan karakteristik penafsiran disebabkan oleh banyak faktor, antara lain adalah adanya perbedaan situasi sosio-historis dimana seorang mufassir hidup. Bahkan situasi politik yang terjadi ketika mufassir melakukan kerja penafsiran juga sangat kental mewarnai produk-produk penafsirannya. Selain itu, perbedaan dan corak penafsiran itu juga disebabkan perbedaan keahlian yang dimiliki oleh masing-masing mufassir.[1] Faktor-faktor tersebut dikategorikan sebagai faktor eksternal. Sedangkan secara internal, munculnya madzab-madzab tafsir antara lain berupa cakupan makna yang dikandung oleh al-Qu’ran. Al-Qur’an itu memang multiple understanding, mengandung kemungkinan banyak penafsiran. Sehingga pluralitas penafsiran al-Qur’an dipandang sah-sah saja, sepanjang dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah dan moral.
Di antara ulama tafsir yang turut memperkaya turâts Islam adalah Abû al-Hasan al-Mâwardi (974-1058 M / 364-450 H). Al-Mâwardi dipandang sebagai tokoh pewaris terpenting dalam tradisi keilmuan Islam klasik, seperti ilmu hadis, fiqh, politik, ekonomi, bahasa dan sastra, termasuk tafsir al-Qur’an. Dalam bidang ilmu tafsir al-Qur’an, al-Mâwardi meninggalkan karya besarnya yang populer dengan nama al-Nukat wa al-‘Uyûn. Untuk mengetahui lebih lanjut tentang hal-hal yang berkaitan dengan kitab ini, terutama bagaimana metode pengarangnya dalam menulis kitab ini, maka penulis mengangkat sebuah pembahasan dalam bentuk makalah dengan judul: “Metode Penafsiran Al-Mâwardi dalam Kitab Al-Nukat wa Al-‘Uyûn”. Kajian ini akan diawali dengan pembahasan tentang biografi al-Mâwardi, dan dilanjutkan dengan pembahasan tentang kitab al-Nukat wa al-‘Uyûn karangan al-Mâwardî.
II.      PEMBAHASAN
A.    BIOGRAFI AL-MÂWARDÎ
1.      ASAL USUL KELUARGA AL-MÂWARDI
Nama lengkap al-Mâwardî adalah Abû al-Hasan ‘Alî ibn Muhammad ibn Habîb al-Mâwardî al-Bashrî al-Syâfi’î al-Baghdâdî[2]. Al-Mâwardî merupakan nisbat kepada mâ’ al-ward (mâ’: air; al-ward: mawar), yaitu sebutan untuk profesi yang digeluti oleh keluarga al-Mâwardî sebagai pembuat dan penjual air bunga mawar.[3] Sedangkan al-Bashrî merupakan nisbat kepada tempat kelahirannya, yaitu kota Bashrah. Sebutan al-Syâfi’î menunjukkan bahwa ia merupakan pengikut mazhab Syâfi’i, bahkan dianggap sebagai salah seorang ulama Syafi’iyyah yang terkemuka.[4] Sementara al-Bagdâdî merupakan nisbat kepada tempat al-Mâwardi menghabiskan lebih banyak masa hidupnya hingga ia wafat di sana, yaitu kota Baghdad.
Al-Mâwardi juga mempunyai nama kun-yah (julukan), yaitu: Abû al-Hasan, dengan laqb (gelar) aqdhâ al-qudhât (semacam hakim agung sekarang). Yâqût al-Hamawî menyebutkan bahwa gelar aqdhâ al-qudhât ini diterimanya pada tahun 429 H.[5]
Al-Mâwardi lahir di kota Bashrah pada tahun 364 H, atau bertepatan dengan tahun 974 M. Walaupun lahir di kota Bashrah, namun ia tumbuh dan besar di kota Baghdad. Ia lebih banyak menghabiskan masa hidupnya di kota Baghdad, hingga akhirnya di kota ini pula ia wafat. Ia wafat pada tahun 450 H, atau bertepatan dengan tahun 1058 M, dalam usia 86 tahun.[6]
2.      SITUASI SOSIO-HISTORIS PADA MASA AL-MÂWARDÎ
a)      Aspek Politik Pemerintahan
Telah diuraikan sebelumnya bahwa al-Mâwardî hidup dari tahun 364 H sampai dengan tahun 450 H. Ini berarti ketika itu pemerintah Islam berada di bawah kekuasaan dinasti Buwaihiyyah.[7] Dinasti Buwaihiyyah berhasil menaklukkan daerah-daerah yang sebelumnya berada di bawah kekuasaan dinasti ‘Abbasiyah. Namun dengan kekuatan militer yang dimiliki, dinasti Buwaihiyyah dengan mudah menaklukkan daerah-daerah tersebut.
Dinasti Buwaihiyyah tidak puas hanya dengan menaklukkan wilayah geografis saja, mereka juga berambisi menaklukkan para khalifah ‘Abbasiyah itu sendiri. Pada akhirnya, mereka berhasil membuat para khalifah hanya menjadi lambang saja, sementara kekuasaan yang sesungguhnya berada di tangan dinasti Buwaihiyyah.[8] Ini berarti kekhalifahan di Baghdad sudah berada di bawah bayang-bayang para amir Buwaihi. Maka secara de facto, mereka inilah yang berkuasa menentukan kebijakan negara, sedangkan khalifah hanya dijadikan sebagai simbol.
Para amir dinasti Buwaihî merupakan penganut mazhab syi’ah yang sangat fanatik. Mereka sering mengadakan perayaan-perayaan dan acara-acara keagamaan yang banyak mengandung bid’ah, seperti perayaan hari ghadîr khum dan peringatan hari ‘âsyûrâ’. Para wanita ketika itu juga diperintahkan untuk keluar dari rumah dan pergi ke pasar dalam keadaan kepala tertunduk sebagai tanda penyesalan, sambil memukul-mukul dada dan merobek-robek selendangnya. Dan hal-hal lain yang penuh dengan praktek bid’ah dan khurafat syi’ah. Semua itu dilakukan atas perintah para amir dinasti Buwaihiyyah, terutama pada masa pemerintahan Mu’iz al-Daulah ibn Buwaih.[9]
b)     Aspek Sosial Kemasyarakatan
Aspek sosial kemasyarakatan sangat erat kaitannya dengan aspek politik pemerintahan. Jika aspek politik berkaitan dengan pemerintah dan penguasa, maka aspek sosial kemasyarkatan merupakan hal-hal yang berkaitan dengan kondisi internal masyarakat tersebut. Tentu kondisi sosial kemasyarakatan di suatu daerah mempengaruhi kondisi pemerintahan yang ada, baik positif maupun negatif. Adapun kondisi sosial kemasyarakatan yang terjadi pada masa al-Mâwardî adalah sebagai berikut:
-          Mulai melemahnya mazhab ahlu al-sunnah dan mulai munculnya kekuatan syi’ah di bawah kekuasaan dinasti Buwaihiyyah.[10]
-          Mulai hilangnya wibawa sulthân dan merajalelanya kriminalitas berupa pencurian, perampasan dan demonstrasi-demonstrasi di dalam negeri.
-          Para sulthân dan amîr lebih menyibukkan diri dengan kemawahan duniawi, dan tidak lagi memperhatikan kepentingan rakyat.[11]
c)      Aspek Ilmu Pengetahuan
Telah diakui bahwa pada masa dinasti Abbasiyah, ilmu pengetahuan mencapai puncak kejayaaannya atau sering diistilahkan dengan al-‘ashru al-dzahabî (masa keemasan). Ilmu pengetahuan berkembang sangat pesat di segala bidang. Ada beberapa faktor yang menyebabkan kemajuan ilmu pengetahuan pada masa dinasti Buwaihi, di antaranya:[12]
1.      Warisan tradisi dari dinasti Abbasiyah awal yang mendorong para pemikir abad berikutnya untuk mengembangkan ilmu pengetahuan, seperti banyaknya penterjemahan, penulisan karya ilmiah serta pen-tahqîq-an kitab-kitab sebelumnya pada masa Hârûn al-Rasyîd dan al-Makmûn.
2.      Perhatian khalifah dan amîr yang begitu besar terhadap pengembangan ilmu pengetahuan. Ini dapat dilihat pada masa ‘Adhdhu al-Daulah yang memberikan honorarium yang besar terhadap para fuqahâ’, muhadditsîn, mutakallimîn, ahli nahwu, pujangga, sastrawan, dokter, ahli hisab, arsitek dan lain-lain.
Kemajuan dalam bidang ilmu pengetahuan itu berlangsung cukup lama hingga masa pemerintahan dinasti Abbasiyah berakhir. Pada masa inilah al-Mâwardî dan sejumlah ulama lainnya hidup, Mereka ahli dalam berbagai disiplin ilmu, seperti sastra, fiqh, hadis, dan tafsir. Hal ini memberikan pengaruh besar bagi khazanah intelektual ketika itu.
3.      RIWAYAT PENDIDIKAN DAN KARIR AL-MÂWARDÎ
a)      Riwayat Pendidikan
Dalam masa pendidikannya, al-Mâwardi tidak mengunjungi banyak negeri sebagaimana kebiasaan yang dilakukan oleh ulama-ulama terdahulu. Ia hanya melakukan pengembaraan untuk mencari ilmu kepada ulama-ulama yang ada di sekitar Bashrah dan Baghdad saja.
Pada awalnya al-Mâwardî menempuh pendidikannya di daerah kelahirannya sendiri, yaitu Bashrah. Di kota tersebut al-Mâwardî untuk pertama kali belajar kepada Abû al-Qâsim al-Shaimirî, seorang ulama terkenal Bashrah ketika itu. sempat mempelajari hadits dari beberapa ulama terkenal, seperti Muhammad al-Munqîrî, Hasan ibn ‘Alî al-Jabalî, dan sebagainya.[13] Menurut pengakuan muridnya, Ahmad ibn ‘Alî al Khathîb al-Baghdâdî, bahwa dalam bidang al-Hadîts, al-Mâwardî termasuk “tsiqat”.[14]
Setelah beberapa lama belajar di Bashrah, al-Mâwardi kemudian merantau ke kota Baghdad untuk melanjutkan pendidikannya. Di kota inilah ia lebih banyak menghabiskan waktunya untuk mempelajari dan mendalami berbagai ilmu keislaman dari ulama-ulama besar di sana. Di Baghdad, ia bertemu dengan Imam Za’farâni, dan belajar hadis serta fiqh darinya. Ia juga bergabung dengan halaqah-halaqah pengajian Syeikh Abû al-Hâmid al-Isfarâyaynî untuk menambah pengetahuannya.[15] Berkat asuhan syeikh Abû al-Hamîd al-Isfarâyaynî ini, al-Mâwardî kemudian tampil sebagai salah seorang ahli fiqih yang terkemuka dari mazhab Syafi’i. Keahlian al-Mâwardî selanjutnya juga dalam bidang sastra dan sya’ir, nahwu, filsafat dan ilmu sosial, namun belum dapat diketahui secara pasti dari mana ia mempelajari ilmu kebahasaan tersebut.[16]
b)     Karir
Berkat keahliannya dalam bidang hukum Islam, al-Mâwardi dipercaya untuk memegang jabatan sebagai hakim di beberapa kota, seperti di Ustuwa dalam kawasan Naisâbûr (daerah Iran sekarang) dan di Baghdad. Dalam hal ini al-Mâwardi pernah diminta oleh penguasa pada saat itu untuk menyusun kompilasi hukum dalam mazhab Syafi’i, yang selanjutnya dinamakan al-Iqra’. Pada masa al-Qadir berkuasa (381 H/991 M – 423 H/1031 M), karir al-Mâwardi meningkat setelah ia menetap kembali di Baghdad.
Pada tahun 423 H, al-Qâdir wafat. Maka anaknya al-Qâ’im menggantikannya sebagai khalifah. Karir al-Mâwardi pada masa khalifah al-Qâ’im (1031-1074 M) semakin meningkat. Ia mulai menampakkan perannya yang penting dalam pemerintahan khalifah. Ia senantiasa berkecimpung dalam politik pemerintahan dengan menjadi utusan khalifah untuk mengambil bai’ah dari rakyat. Di samping itu, pada saat itu juga ia diserahi tugas sebagai duta diplomatik untuk melakukan negosiasi dalam menyelesaikan berbagai persoalan dengan berbagai tokoh pimpinan dari kalangan Bani Buwaihi dan Seljuk (Iran). Pada waktu itu ia mendapat gelar sebagai aqdhâ al-qudhât (hakim agung).[17]
Sepanjang al-Mâwardî menjabat sebagai qâdhî, ia dapat mengetahui keadaan keseharian masyarakat umum dan berinteraksi dengan mereka lebih dekat lagi. Ia juga dapat menyelami dan memutuskan perkara-perkara adat kebiasaan untuk disesuaikan dengan panduan syar’i. Dari jabatan qâdhî, pangkatnya dinaikkan ke jabatan yang lebih tinggi dalam tugas pemerintahan negara.
Di sinilah ia dapat mendekati pembesar-pembesar dan pemimpin negara. Mereka menjadikan al-Mâwardî sebagai tempat rujukan ketika menghadapi berbagai persoalan. Khalifah al-Qâ’im pernah mengutus al-Mâwardî tahun 428 H untuk menjadi penengah antara Jalâl al-Daulah dengan Abû Kalijar. Melalui perundingan inilah perdamaian antara kedua belah pihak pada tahun 429 H terlaksana. Dalam majelis-majelis resmi kerajaan, al-Mâwardî senantiasa mendapat tumpuan dan kedudukan yang tinggi di kalangan pembesar-pembesar negara, seperti pada pernikahan khalifah Amru Allâh dengan Khadijah binti Akhi Sulthân Ta’gharbalak pada tahun 448 H[18].


4.      GURU-GURU AL-MÂWARDÎ
Walaupun al-Mâwardî tidak menuntut ilmu[19] ke berbagai daerah, namun ia telah belajar kepada banyak ulama di sekitar Bashrah dan Baghdad. Di antara guru-guru al-Mâwardi adalah:[20]
a)      Al-Shaimirî, nama lengkapnya adalah: Abû al-Qâsim ‘Abd al-Wâhid ibn al-Husein al-Bashrî. Al-Mâwardi belajar darinya ilmu fiqh. Al-Shaimirî wafat pada tahun 386 H.
b)      Al-Isfirâyanî, nama lengkapnya adalah: ‘Abd Allâh Muhammad al-Bukhârî, Al-Syaikh al-Imâm Abû Muhammad al-Bâqî. Al-Mâwardi belajar darinya ilmu fiqh. Al-Bâqî wafat pada bulan Muharram tahun 398 H.
c)      Al-Hasan ibn ‘Alî ibn Muhammad al-Jabali. Al-Mâwardi belajar darinya ilmu hadis.
d)     Ja’far ibn Muhammad al-Fadhl ibn ‘Abd Allâh Abû al-Qâsim al-Daqâq, atau lebih populer dengan sebutan Ibn al-Mârastânî al-Baghdâdî. Al-Mâwardi belajar darinya ilmu hadis. Ia wafat pada tahun 387 H.
e)      Muhammad ibn ‘Addiy ibn Zuhr al-Munqîrî. Al-Mâwardi belajar darinya ilmu hadis.
f)       Muhammad ibn al-Mu’allâ ibn ‘Ubaid Allâh, Abû ‘Abd Allâh al-Asadî al-Uzdî al-Nahwî, al-Lughawî. Al-Mâwardi belajar darinya ilmu bahasa Arab.
5.      MURID-MURID AL-MÂWARDÎ
Di tengah-tengah kesibukannya sebagai qâdhî, al-Mâwardi juga sempat meluangkan waktunya untuk mengajar selama beberapa tahun di Bashrah dan Baghdad. Di antara murid-muridnya adalah:[21]
a)      Al-Khathîb al-Baghdâdî, nama lengkapnya adalah: Abû Bakr Ahmad ibn Tsâbit ibn Ahmad ibn Mahdî, seorang al-hafîzh dan ahli hadis terkenal. Ia wafat tahun 463 H.
b)      Ibnu Khairûn, nama lengkapnya adalah: Abû al-Fadhl Ahmad ibn al-Husein, atau lebih populer dengan sebutan Ibnu al-Bâqillânî. Ia wafat pada tahun 488 H.
c)      ‘Abd al-Malik ibn Ibrâhîm ibn Ahmad Abû al-Fadhl al-Hamdzânî, atau lebih populer dengan sebutan al-Maqdisî. Ia wafat pada tahun 489 H.
d)     ‘Alî ibn al-Husein ibn ‘Abd Allâh al-Rab’î, atau lebih populer dengan sebutan Ibnu ‘Arabiyyah. Ia wafat pada tahun 502 H.
e)      Muhammad ibn Ahmad ibn ‘Abd al-Bâqî ibn al-Husein ibn Muhammad ibn Thûq ‘Abd al-Fadhâ’il al-Rab’î al-Mûshilî. Ia wafat pada tahun 494 H.
f)       Ahmad ibn ‘Abd Allâh ibn Muhammad ibn Hamdân, atau lebih populer dengan sebutan Ibnu Kâdisy al-Baghdâdi. Ia wafat tahun 526 H.
g)      Ahmad ibn ‘Alî ibn Badrân Abû Bakr al-Hilwânî. Di samping sebagai murid, al-Mâwardi juga sempat berguru kepada al-Hilwâni dalam bidang ilmu hadis. Ia wafat tahun 507 H.
h)      ‘Abd al-Rahmân ibn ‘Abd al-Karîm ibn Hawâzin, Abû Manshûr al-Qusyairî. Di samping sebagai murid, al-Mâwardi juga sempat berguru kepada al-Qusyairî dalam bidang ilmu hadis. Ia wafat tahun 482 H.
6.      PANDANGAN ULAMA TERHADAP AL-MÂWARDÎ
a)      Mazhab Fiqh Al-Mâwardî
Al-Mâwardî merupakan seorang ulama yang ulung dan seorang ahli fiqih bermazhab Syafi’i. Tidak hanya itu, ia juga dianggap sebagai ulama pembela mazhab, mempunyai intelektualitas tinggi bahkan menjadi salah satu tokoh dalam mazhab Syafi’i itu sendiri. Kredibilitas al-Mâwardi dalam hifzh (hafalan hadis), fiqh, dan ke-‘adâlah-an telah diakui oleh banyak ulama, seperti Abû Ishâq al-Syirâzî, al-Khathîb al-Baghdâdî, al-Subkî, dan lain-lain.
Abû Ishâq al-Syirâzî mengatakan:
"كان حافظا للمذهب".[22]
Ia adalah seorang pembela mazhabnya”.
Tentang kedudukan al-Mâwardî dalam mazhab fiqih, al-Khathîb al-Baghdâdî mengatakan bahwa gurunya tersebut merupakan seorang ahli fiqh mazhab Syafi’i yang terkemuka, sebagaimana tercantum dalam kitab Târîkh Baghdâd berikut:
"كان من وجوه الفقهاء الشافعيين،وجعل إليه ولاية القضاء ببلدان كثيرة"[23]
Ia merupakan salah seorang ahli fiqh mazhab Syafi’i yang terkemuka, dan ia menjadikan mazhabnya itu sebagai pedoman dalam urusan kehakiman di berbagai daerah.
Tentang keahlian al-Mâwardî dalam bidang al-hadîts, al-Baghdâdi mengatakan: “كتبت عنه وكان ثقة” (hadisnya dituliskan/diakui periwayatnya, karena ia adalah seorang tsiqah).[24]
Singkatnya, al-Mâwardî merupakan seorang ulama yang mempunyai reputasi tinggi dan keilmuan yang luas dalam segala bidang. Dalam kitab Thabaqât al-Syâfi’iyyah al-Kubrâ, al-Subkî mengatakan: “Al-Mâwardi merupakan seorang imam yang mulia, mempunyai kedudukan yang tinggi dan kemampuan intelektual yang terbentang luas dalam mazhabnya, serta menguasai segala bidang ilmu.”[25]
b)     Mazhab Teologi (‘Aqidah) Al-Mâwardî
Sungguhpun al-Mâwardî tergolong sebagai penganut mazhab Syafi’i, namun dalam bidang teologi ia juga memiliki pemikiran yang bercorak rasional. Hal ini dapat dilihat dari pernyataan Ibn al-Shalâh[26] yang mengatakan bahwa dalam beberapa persoalan tafsir yang dipertentangkan antara Ahli al-Sunnah dengan Mu’tazilah, al-Mâwardî cenderung kepada Mu’tazilah. Bahkan dalam kitab Mîzân al-I’tidal, Imam al-Dzahabi berkata tentang al-Mâwardî: “Shaduq pada dirinya sendiri, tetapi ia seorang penganut Mu’tazilah.”[27] Begitu juga dalam kitab al-Mufassirûn Hayâtuhum wa Manhajuhum”, sebuah kitab karya Muhammad ‘Alî Iyâzî yang membahas biografi mufassir dari abad ke-3 sampai abad ke-15 H. Di sana dengan terang-terangan penulis mencantumkan mazhab al-Mâwardî dengan “الشافعي المعتزلي[28]. Maksudnya, al-Mâwardî dalam bidang fiqh bermazhab Syafi’i, dan dalam bidang teologi menganut paham Mu’tazilah.
Tuduhan seperti itu disanggah oleh banyak ulama. Al-Subki misalnya, seperti yang dikutip oleh al-Suyûthi dalam kitab Thabaqât al-Mufassirîn, membantah bahwa al-Mâwardi adalah penganut Mu’tazilah.[29] Hal senada juga diungkapkan oleh Ibnu Hajar al-‘Asqalâni bahwa tuduhan Mu’tazilah tidak pantas dialamatkan kepada al-Mâwardi.[30]
Sementara itu, Muhammad al-Hamûd al-Najdî dalam kitab ringkasan metodologi tafsirnya mengistilahkan aqidah al-Mâwardî dengan: “مؤول أشعري” (pentakwil yang berteologi Asy’arî).[31] Walaupun al-Najdî tidak menjelaskan maksud pernyataannya ini, namun dapat dipahami bahwa al-Mâwardî berteologi Asy’arî. Dalam metodologi kalam asy’arî, di samping menggunakan sumber primer berupa teks-teks suci dari al-Qur’an dan al-Sunnah, juga menggunakan metode rasional. Hal ini pula yang tampak dalam teologi al-Mâwardî, di mana ia tidak hanya menggunakan dalil dari al-Qur’an dan al-Sunnah, tetapi juga menggunakan ijtihad (metode rasional). Dengan kata lain, ia menggunakan akal dan naqal secara seimbang. Selain itu, teologi asy’arî pada hakikatnya merupakan bentuk kesinambungan dari faham Sunnî. Paham sunnî dalam Islam disebut juga “Ahli Sunnah wa al-Jamâ’ah”, dengan watak utamanya netral dalam politik dan moderat dalam faham keagamaan[32]. Agaknya, paham ini juga pantas dialamatkan pada al-Mâwardî, sehingga ia pun dapat pula dikatakan bahwa ia menganut paham sunnî (ahli sunnah wa al-jamâ’ah).[33]
7.      KARYA-KARYA AL-MÂWARDÎ
 Selain sebagai seorang ulama yang waktunya banyak digunakan untuk keperluan pemerintahan dan mengajar, al-Mâwardi juga tercatat sebagai ulama yang banyak melahirkan karya-karya tulisannya dengan ikhlas. Menurut cacatan sejarah bahwa al-Mâwardi memiliki karya ilmiah tidak kurang dari 12 judul yang secara keseluruhan dapat dibagi ke dalam tiga kelompok ilmu pengetahuan.
a)      Pertama, kelompok pengetahuan agama
Karya al-Mâwardi yang termasuk ke dalam kelompok ini antara lain kitab tafsir berjudul “al-Nukat wa al-‘Uyûn”. Buku ini yang sedang dikaji dalam pembahasan kali ini. Masih dalam bidang tafsir dan ‘ulûm al-Qur’an, al-Mâwardî mengarang kitab “Amtsâl al-Qur’ân”. Selanjutnya buku berjudul “al-Hâwî al-Kabîr”, yaitu buku fiqih dalam mazhab Syafi’i yang memuat 4000 halaman dan disusun dalam 20 bagian. Menurut informasi, buku ini sedang dikumpulkan naskahnya yang tersebar di berbagai negara Arab untuk dipublikasikan. Masih juga dalam bidang pengetahuan agama, tercatat kitab “al-Iqra’” yang berisi ringkasan dari kitab Al Hawy dan ditulis dalam 40 halaman. Kemudian kitab “Adab al-Qâdhî” yang naskahnya berada di perpustakaan Sulaimaniyah di konstanturiah; dan kitab “A’lam al-Nubuwwah” yang naskahnya masih tersimpan di Dâr al Kutub al-Mishriyyah.[34]
b)     Kedua, kelompok pengetahuan tentang politik dan kenegaraan
Buku yang temasuk ke dalam kelompok pengetahuan tentang politik dan ketatanegaraan ini adalah “al-Ahkâm al-Sulthâniyyah”, “Nashîhat al-Muluk”, “Tashîl al-Nazhar wa Ta’jîl al-Zhafar” dan “Qawânîn al-Wizârah wa al-Siyâsât al-Malik”. Kitab al-Ahkâm al-Sulthâniyyah termasuk karya al-Mâwardî yang paling populer di kalangan dunia Islam. Buku ini berisi tentang pokok-pokok pikiran mengenai ketatanegaraan seperti tentang jabatan khalifah dan syarat-syarat bagi mereka yang dapat diangkat sebagai khalifah dan para pembantunya, baik pemerintahan pusat maupun pemerintahan daerah serta perangkat-perangkat ketatanegaraan lainnya. Buku ini telah diterbitkan di beberapa negara dan telah dialih bahasakan. Sementara itu kitab Nashîhat al-Muluk berisi nasihat bagi seorang pemimpin. Sedangkan Tashîl al-Nazhar wa Ta’jîl al-Zafar adalah sebuah buku yang berisi masalah politik dan ragam pemerintahan. Selanjutnya kitab Qawânîn al-Wizârah wa al-Siyâsât al-Malik berisi uraian mengenai ketentuan kementrian dan politik raja.[35]
c)      Ketiga, kelompok pengetahuan bidang akhlak
Buku yang termasuk ke dalam kelompok pengetahuan bidang akhlak ini diantaranya kitab “al-Nahwu”, “al-Awsath wa al-Hikam” dan “al-Bughyah al-‘Ulyâ fî Adab al-Dunyâ wa al-Dîn”. Buku al-Nahwu berisis uraian mengenai tata bahasa dan sastra yang telah diteliti oleh Yâqût al-Hamamî. Sedangkan kitab al-Awsath wa al-Hikam berisikan 300 hadits, 300 hikmah, 300 buah syair. Sementara itu kitab al-Bughyah al-‘Ulyâ fî Adab al-Dunyâ wa al-Dîn merupakan kitab yang amat populer hingga sekarang dan dikenal sebagai kitab Adab al-Dunyâ wa al-Dîn.[36]
Kitab Adab al-Dunyâ wa al-Dîn dinilai sebagai buku yang amat bermanfaat. Buku ini pernah ditetapkan oleh Kementrian Pendidikan di Mesir sebagai buku pegangan di sekolah-sekolah Tsanawiyah selama lebih dari 30 tahun. Selain di Mesir, buku ini diterbitkan pula beberapa kali di Eropa. Sementara itu seorang ulama Turki bernama Hawâ’is Wafâ ibn Muhammad ibn Hammâd ibn Khalîl ibn Dâwûd al-Zarjani pernah mensyarahkan buku ini dan diterbitkan pada tahun 1328 H.[37]

B.     STUDI KITAB “AL-NUKAT WA AL-‘UYÛN” KARYA AL-MÂWARDÎ
1.      DATA UMUM KITAB
Kitab yang akan dibahas dalam kajian ini adalah kitab “al-Nukat wa al-‘Uyûn” karangan al-Mâwardî. Data selengkapnya tentang kitab ini dapat dilihat sebagai berikut:
Nama Kitab
:
“Al-Nukat wa al-‘Uyûn” (juga populer disebut “Tafsîr al-Mâwardî”)
Pengarang
:
Abû al-Hasan ‘Alî ibn Muhammad ibn Habîb al-Mâwardî al-Bashrî
Bahasa
:
Arab
Jumlah Jilid
:
6 Jilid
Jumlah Halaman
:
-          548 Halaman (Jilid I)
-          512 Halaman (Jilid II)
-          477 Halaman (Jilid III)
-          480 Halaman (Jilid IV)
-          531 Halaman (Jilid V)
-          380 Halaman (Jilid VI)
Penerbit
:
Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah
Tempat Terbit
:
Beirut, Libanon
Tahun Terbit
:
1412 H/1992 M
Cetakan
:
Ke-1
Ditahqîq oleh
:
Al-Sayyid ibn ‘Abd al-Maqshûd ibn ‘Abd al-Rahîm
2.      SEBAB PENAMAAN
Kitab ini berjudul “al-Nukat wa al-‘Uyûn”, atau biasa juga disebut dengan “Tafsîr al-Mâwardî”. Sebutan “Tafsîr al-Mâwardî” bukanlah sebutan asli bagi kitab, melainkan sebutan yang populer di tengah-tengah masyarakat. Sudah biasa terjadi pada kitab-kitab umumnya, di mana nama kitab sering dinisbatkan  kepada nama pengarangnya.[38]
Lain halnya dengan sebutan “al-Nukat wa al-‘Uyûn”, asal usul penamaan kitabnya ini tidak dapat diketahui dengan mudah, karena tidak ada pernyataan langsung dari pengarang mengapa ia menamakan kitabnya dengan “al-Nukat wa al-‘Uyûn”. Selain itu, tidak dapat pula diketahui dengan pasti apakah penamaan ini berasal dari al-Mâwardî sendiri atau bukan. Namun al-Dzahabî dalam kitabnya “Siyar A’lâm al-Nubalâ’” mengatakan bahwa al-Mâwardî-lah yang menamakan kitabnya “al-Nukat wa al-‘Uyûn”. Berikut pernyataannya:
"وله تفسير القرآن سماه : "النكت"..."[39]
“Ia mempunyai kitab tafsir al-Qur’an yang ia beri nama: ‘al-Nukat’”.
Untuk menjelaskan pernyataannya ini, al-Dzahabî kemudian melanjutkan:
وقيل: إنه لم يظهر شيئا من تصانيفه في حياته، وجمعها في موضع، فلما دنت وفاته، قال لمن يثق به: الكتب التي في المكان الفلاني كلها تصنيفي، وإنما لم أظهرها لأني لم أجد نية خالصة، فإذا عاينت الموت، ووقعت في النـزع، فاجعل يدك في يدي ، فإن قبضت عليها وعصرتها ، فاعلم أنه لم يقبل مني شيء منها، فاعمد إلى الكتب، وألقها في دجلة وإن بسطت يدي، فاعلم أنها قبلت. قال الرجل: فلما احتضر وضعت يدي في يده، فبسطها، فأظهرت كتبه. [40]
Dari keterangan di atas, ada pendapat yang mengatakan bahwa karya-karya tulis al-Mâwardî belum muncul di masa hidupnya. Namun ia hanya sebatas mengumpulkan dan menyimpan karya-karyanya itu pada suatu tempat. Maka menjelang kematiannya, ia berwasiat kepada salah seorang yang ia percayai: “Kitab-kitab yang ada di tempat si Fulan itu merupakan hasil karya tulisku. Hanya saja aku belum pernah menampilkannya (di khalayak umum) karena aku merasakan niatku belum ikhlas. Saat ini aku berada di ambang kematian, dan kegelisahan menggelayutiku (tentang kitab-kitab itu). Taruhlah tanganmu di tanganku. Pada saat aku menggenggamnya dengan kuat, maka artinya tidak satupun kitab-kitab itu yang diterima dariku. Segeralah cari kitab-kitab itu, dan temukanlah ia pada suatu peti. Begitu aku lepaskan genggaman tanganku, maka artinya kitab-kitab itu telah diterima.
“Orang itupun berkata: “Ketika ia baru saja meninggal, aku letakkan tanganku di tangannya, lalu lepaslah genggaman tangannya. Tak lama kemudian, aku tampilkan kitab-kitabnya (kepada khalayak umum).”
Jika pernyataan yang dikutip oleh al-Dzahabi ini benar adanya, maka hal ini menjadi bukti bahwa al-Mâwardî sendirilah yang menamakan kitabnya dengan “al-Nukat wa al-‘Uyûn”. Ditambah lagi, kondisi kitab ini telah selesai ditulis oleh al-Mâwardî di kala ia masih hidup, maka tidak mungkin seseorang yang telah menyelesaikan sebuah kitab tidak menuliskan judul kitab yang ia tulis itu.
Selain itu, jika dilihat dari pernyataan orang kepercayaan al-Mâwardî yang mengatakan bahwa begitu al-Mâwardî wafat, ia langsung me-launching karya-karya tulis al-Mâwardî ke khalayak umum. Dari sini tampak tidak adanya aktifitas penyaduran atau perubahan judul kitab yang dilakukan oleh orang lain setelah al-Mâwardî wafat, karena al-Mâwardî berpesan agar kitab-kitab tersebut segera di-launcing begitu ia wafat. Maka wajar apabila orang yang diberikan wasiat tersebut segera menunaikannya, tidak menunggu lama-lama dan tidak mengutak-atik kitab-kitab yang diwasiatkan tersebut.
3.      LATAR BELAKANG PENULISAN
Untuk mengetahui latar belakang penulisan kitab ini, setidaknya dapat dilihat dalam muqaddimah kitab yang ditulis oleh al-Mâwardî sendiri sebagai berikut:
"... وجعل ما استودعه على نوعين: ظاهراً جلياً وغامضاً خفياً يشترك الناس في علم جلية ويختص العلماء بتأويل خفية حتى يعم الإعجاز، ثم يحصل التفاضل والامتياز. ولما كان ظاهر الجلي مفهوما بالتلاوة، وكان الغامض الخفي لا يعلم إلا من وجهين: نقل واجتهاد. جعلت كتابي هذا مقصورا على تأويل ما خفي علمه، وتفسير ما غمض تصوره وفهمه..." [41]
Dari keterangan di atas, dapat diketahui dengan jelas hal-hal apa yang melatarbelakangi penulisan kitab al-Nukat wa al-‘Uyûn. Berawal dari fakta bahwa tidak semua ayat dalam al-Qur’an dapat dipahami dengan mudah maknanya. Maka al-Mâwardî pun membagi ayat al-Qur’an ke dalam dua jenis: ada ayat yang zhahîr dan jelas (ظاهر جليّ), sehingga mudah dipahami oleh masyarakat awam. Dan ada pula ayat yang tersembunyi dan sulit dipahami maknanya (غامض خفيّ), di sinilah ulama berperan khusus untuk memberikan pemahaman yang benar terhadap ayat tersebut.
Kemudian al-Mâwardî melanjutkan perkataannya bahwa terhadap ayat-ayat yang zhahîr dan jelas, dapat dipahami dengan hanya sekedar membacanya saja. Namun terhadap ayat-ayat yang tersembunyi dan sulit dipahami maknanya, al-Mâwardî menawarkan dua cara, yaitu: naql (riwayat) dan ijtihâd (rasional). Inilah yang membuat al-Mâwardî merasa terpanggil jiwanya untuk ikut berkontribusi dengan cara menulis sebuah kitab yang memuat kumpulan-kumpulan ta’wîl dan tafsîr[42] terhadap ayat-ayat yang tersembunyi dan sulit dipahami maknanya tersebut.

4.      SUMBER PENAFSIRAN
Dalam menulis kitab ini, al-Mâwardî mengambil referensi kepada kitab-kitab ulama sebelumnya. Kitab-kitab yang menjadi rujukan utama al-Mâwardî antara lain:
a.      Kitab-Kitab Tafsir
Kitab “Jâmi’ al-Bayân ‘an Ta’wîl Ây al-Qur’ân” karangan Ibn Jarîr al-Thabarî merupakan kitab tafsir yang menjadi referensi utama dalam tafsir Al-Mâwardî.[43] Banyak sekali ayat-ayat al-Qur’an yang ditafsirkan al-Mâwardî merujuk kepada kitab al-Thabarî ini. Misalnya saja, dalam menafsirkan Surat al-Nisâ’ [4]: 34 berikut:
...£`èdrãàf÷d$#ur Îû ÆìÅ_$ŸÒyJø9$# £`èdqç/ÎŽôÑ$#ur...
“…pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka…”
Potongan ayat tersebut dikomentari oleh al-Mâwardî dengan mengemukakan lima pendapat, dan pada point ke-5 al-Mâwardî mengutip pendapat al-Thabarî sebagai berikut:
والخامس: هو أن يربطها بالهجار وهو حبل يربط به البعير ليقرها على الجماع، وهو قول أبي جعفر الطبري. [44]
Kelima, istrinya diikat dengan “al-hajjâr”, yaitu sejenis tali pengikat unta agar ia tidak lepas ketika pembuahan. Ini adalah pendapat Abû Ja’far al-Thabarî.
b.      Kitab-Kitab Qirâ’at
Al-Mâwardî sangat memperhatikan bidang qirâ’at di dalam tafsirnya. Di dalam beberapa ayat, hampir tidak luput dari pembahasannya tentang qirâ’at. Hanya saja, ia tidak menyebutkan satu pun nama kitab yang menjadi rujukannya dalam bidang qirâ’at tersebut. Walaupun demikian, ia tetap menyebutkan nama pengarang, sedangkan nama kitab tidak ia sebutkan[45].
Dalam bidang qirâ’at, al-Mâwardî berpedoman kepada kitab-kitab  yang mu’tabar, seperti kitab “al-Qirâ’ât” karangan Abû ‘Ubaid al-Qâsim ibn Salâm,[46] kitab “al-Qirâ’ât” karangan Abû Hâtim al-Sijistânî,[47] termasuk juga kitab “Jâmi’ al-Bayân ‘an Ta’wîl Ây al-Qur’ân” karangan al-Thabarî[48] yang memuat lebih dari 20 jenis qirâ’at, dan lain-lain.
c.       Kitab-Kitab Hadis/Atsar
Tafsîr al-Mâwardî didominasi oleh metode tafsîr bi al-ma’tsûr, maka wajar bila kitab ini sangat memperhatikan riwayat hadis-hadis Nabi ketika menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an. Begitu juga dengan riwayat yang berasal dari atsar shahabat, seperti ‘Alî ibn Abî Thâlib, ‘Abd Allâh ibn Mas’ûd, ‘Abd Allâh ibn ‘Abbâs, dan lain-lain. Terkadang ia melontarkan kritikan dan penolakan terhadap beberapa atsar shahabat tersebut. Misalnya: penolakannya terhadap riwayat Ibn Mas’ûd yang tidak memasukkan Surat al-Falaq dan al-Nâs ke dalam Surat-Surat al-Qur’an. Bahkan Ibn Mas’ûd mengatakan bahwa dua Surat itu hanyalah do’a Rasul, bukan bagian dari al-Qur’an.[49]
Dalam mengutip hadis, al-Mâwardî sering tidak mencantumkan jalur sanad. Penghapusan jalur sanad bukanlah hal yang aneh dalam kitab-kitab tafsir. Al-Thabarî misalnya, juga sering tidak mencantumkan jalur sanad di dalam kitabnya. Sementara itu, tidak semua hadis yang dikutip oleh al-Mâwardî bernilai shahîh; ada pula hadis hasan, bahkan di beberapa tempat terdapat hadis dha’îf. Pembahasan lebih lanjut akan dibahas dalam sub bab “Kelebihan dan Kekurangan Kitab”.
d.      Kitab-Kitab Bahasa dan Sastra
Aspek kebahasaan merupakan aspek yang penting dan menjadi perhatian besar al-Mâwardî dalam tafsirnya, bahkan ia banyak mengutip pendapat dari tokoh-tokoh bahasa terkenal.
e.       Kitab-Kitab Fiqh
Aspek fiqih juga menjadi perhatian yang cukup besar oleh al-Mâwardî dalam tafsirnya. Hanya saja ia memaparkan persoalan fiqih ini secara sederhana, tidak terlalu panjang dan tidak terlalu pendek, sekalipun ia mempunyai track and record yang cukup panjang di bidang ini, terutama setelah ia menjabat sebagai aqdhâ al-qudhât (hakim agung). Di tambah lagi, ia dianggap sebagai tokoh terkemuka di masanya dalam fiqih (mazhab Syafi’i). Namun kemampuannya itu tidak ditampakkan secara nyata dalam tafsirnya. Dalam banyak ayat, persoalan fiqih ia kemukakan dalam bentuk minimalis. Jika diperhatikan, perhatiannya terhadap persoalan fiqih yang paling menonjol, tampak pada dua surat yaitu Surat al-Baqarah dan al-Nûr.
Ketika mengemukakan persoalan fiqih dalam ayat-ayat yang mengandung hukum, ia biasanya tidak menyebutkan dalil. Namun yang jelas, ia bukanlah orang yang fanatik (ta’ashshub) mazhab, karena ia tidak hanya berpegang kepada mazhabnya saja, melainkan juga menyebutkan berbagai mazhab dari ulama-ulama fiqih yang lain seperti Abû Hanîfah, Imâm Mâlik, Imâm Ibn Hazm al-Zhâhirî, al-Tsaurî, al-Auzâ’î, Ibn Abî Lailâ, al-Zuhrî, dan lain-lain. Hanya saja ia tidak jarang sekali mengemukakan pendapat-pendapat dari Imâm Ahmad ibn Hanbal. Agaknya ia terpengaruh dengan al-Thabari yang berpendapat bahwa Imam Ahmad adalah seorang ahli hadis (muhaddits), bukan seorang ahli fiqh (faqîh).[50]
f.       Kitab-Kitab Sejarah
Aspek sejarah juga dikemukakan oleh al-Mâwardî dalam tafsirnya, hanya saja aspek ini mendapatkan porsi yang sedikit. Walau demikian, al-Mâwardî mengutip dari para ahli sejarah melalui kitab-kitabnya yang terkenal. Khusus dalam aspek sejarah, ia kebanyakan berpedoman kepada kitab “al-Sîrah al-Nabawiyyah” karangan Imâm Ibn Ishâq[51], kitab “al-Maghâzî” karangan al-Wâqidî[52], kitab “Murûj al-Dhahab” karangan al-Mas’ûdî[53], kitab “al-Mubtada’” karangan Wahab ibn Munabbih[54], dan lain-lain. Ia juga mengutip dari Ibn Jarîr al-Thabarî ketika membahas tentang jumlah istri Rasulullah SAW ketika wafat[55].
5.      METODE PENAFSIRAN
Produk penafsiran tidak berwajah tunggal, melainkan sangat beragam seiring dengan keragaman kecenderungan,  motivasi, misi yang diemban, perbedaan kedalaman dan ragam ilmu yang dikuasai dan perbedaan masa dan lingkungan yang mengitari seorang mufassir. Berbagai metode dan corak tafsir pun bermunculan. Para pengamat tafsir lalu berusaha mengelompokkan metode dan corak tafsir yang beragam itu berdasarkan sudut tinjauan tertentu. Lahirlah kemudian metode tafsir, seperti metode tahlīliy, ijmāliy, muqāran dan mawdhū'iy.[56]
Memperhatikan dengan seksama pembahasan dan uraian keempat metode tafsir tersebut di atas dan mengaitkannya dengan penafsiran al-Mâwardî  dalam tafsir al-Nukat wa al-‘Uyûn-nya dapatlah disimpulkan bahwa metode yang digunakannya masuk dalam metode tahlîlliy, yaitu metode tafsir yang menyoroti ayat-ayat al-Qur’an dengan memaparkan segala makna yang terkandung di dalamnya sesuai urutan bacaan yang terdapat di dalam al-Qur’an mushaf Usmani.[57]
6.      LANGKAH-LANGKAH PENAFSIRAN
Adapun langkah-langkah yang ditempuh dalam kitab ini, setidaknya dapat diketahui melaui pernyataan al-Mâwardî dalam muqaddimah tafsirnya sebagai berikut:
جعلت كتابي هذا مقصورا على تأويل ما خفي علمه، وتفسير ما غمض تصوره وفهمه، وجعلته جامعاً بين أقاويل السلف والخلف، وموضحاً عن المؤتلف والمختلف، وذاكراً ما سنح به الخاطر من معنى يحتمل، عبرت عنه بأنه محتمل، ليتميز ما قيلب مما قلته ويعلم ما استخرج مما استخرجته. وعدلت عما ظهر معناه من فحواه اكتفاء بفهم قارئه وتصور تالية، ليكون أقرب مأخذاً وأسهل مطلباً. وقدمت لتفسيره فصولا ، تكون لعمله أصولا ، يستوضح منها ما اشتبه تأويله، وخفي دليله. [58]
Dari pernyataan di atas, dapat diketahui metode yang digunakan al-Mâwardî dalam kitabnya, yaitu:
a)      Menempuh jalan ta’wil dan tafsîr. Ta’wil di sini sama dengan tafsir.
Ketika menafsirkan suatu ayat, al-Mâwardi terkadang menggunakan istilah “تأويل”, misalnya yang terdapat dalam penafsiran surat al-Baqarah ayat 11 berikut ini:
قوله تعالى: "وَإِذَا قِيلَ لَهُمْ لاَ تُفْسِدُوا في الأَرضِ"، فيه ثلاثة تأويلات: أحدها: أنه الكفر. والثاني: فعل ما نهى الله عنه ، وتضييع ما أمر بحفظه. والثالث: أنه ممالأة الكفار. وكل هذه الثلاثة فساد في الأرض، لأن الفساد العدول عن الاستقامة إلى ضدها. [59]
Terkadang ia juga menggunakan istilah tafsîr, seperti terdapat dalam penafsiran Surat al-Baqarah [2]: 249 berikut ini:
"وَاللَّهُ مَعَ الصَّابِرِينَ"، يعني بالنصرة والمعونة، وهذا تفسير الآية عند جمهور المفسرين. [60]
Hanya saja, al-Mâwardî lebih sering menggunakan istilah ta’wîl dari pada tafsîr. Oleh sebab itu, al-Mâwardi sering disebut dengan “Mu’awwil” (pentakwil), seperti yang disampaikan oleh al-Najdî dalam kitabnya al-Qaul al-Mukhtashar al-Mubîn fî Manâhij al-Mufassirîn.
b)     Menafsirkan al-Qur’an dengan hadis/atsar (bi al-ma’tsûr)
Tafsîr al-Mâwardî tergolong ke dalam tafsîr bi al-ma’tsûr. Maka dalam menafsirkan suatu ayat, ia selalu menyebutkan riwayat-riwayat dari para sahabat, tetapi ia biasanya tidak menyebutkan sanadnya. Seperti penafsiran terhadap terhadap surat al-Baqarah ayat 183
$ygƒr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä |=ÏGä. ãNà6øn=tæ ãP$uÅ_Á9$# $yJx. |=ÏGä. n?tã šúïÏ%©!$# `ÏB öNà6Î=ö7s% öNä3ª=yès9 tbqà)­Gs? ÇÊÑÌÈ
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa”
Ayat di atas ditafsirkan oleh al-Mâwardi dengan mengutip hadis tentang keutamaan puasa sebagai berikut:
روي عن النبي صلى الله عليه وسلم أنه قال: «يَقُولُ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ: كُلُّ عَمَلِ ابنِ آدَمَ لَهُ إِلاَّ الصَّومَ فَإِنَّهُ لِي وَأَنَا أَجْزِي بِهِ، وَلَخَلُوفُ فَمِ الصَّائِمِ أَطْيَبُ عِندَ اللهِ مَن رِيحِ المِسْكَ».
c)      Melakukan tarjîh (menguatkan salah satu pendapat)

Jika ada beberapa pendapat yang berbeda, al-Mâwardî melakukan tarjîh, sejauh tidak kontradiktif dengan pemahaman ayat. Hal ini terlihat seperti ketika al-Mâwardi menafsirkan surat al-Baqarah ayat 87 berikut:[61]
"وَأَيَّدْنَاهُ بِرُوحِ القُدْسِ"، فيه ثلاثة تأويلات: أحدها: أن روح القدس الاسم الذي يحيي به عيسى الموتى، وهذا قول ابن عباس. والثاني: أنه الإنجيل، سماه روحاً، كما سمى الله القرآن روحاً في قوله تعالى: "وَكَذلِكَ أَوحَينَا إِلَيكَ رُوحاً مِنْ أَمْرِنَا". والثالث: وهو الأظهر، أنه جبريل عليه السلام، وهذا قول الحسن وقتادة، والربيع، والسدي، والضحاك.
Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa al-Mâwardi melakukan satu bentuk tarjih, dengan istilah “وهو الأظهر” (ini pendapat yang paling kuat).

d)      Tidak menjelaskan panjang lebar tentang perdebatan fiqh

Untuk kepentingan analisis dan istinbath (penggalian) hukum. ia tetap mengemukakan persoalan fiqh dengan sederhana, walaupun sebenarnya ilmu dan pengalamannya di bidang ini sangat tinggi. Di samping itu, ia bukanlah seorang yang fanatik mazhab walaupun sebenarnya ia penganut mazhab Syafi’i. Dalam penafsiran, ia tidak hanya menyebutkan pendapat mazhabnya saja, melainkan juga menyebutkan berbagai mazhab dari ulama-ulama fiqih yang lain seperti Abû Hanîfah, Imâm Mâlik, Imâm Ibn Hazm al-Zhâhirî, al-Tsaurî, al-Auzâ’î, Ibn Abî Lailâ, al-Zuhrî, dan lain-lain.
7.      CORAK PENAFSIRAN KITAB
Corak secara sederhana berarti paham atau macam[62]. Dalam hal ini corak penafsiran adalah sekitar hubungan tafsir al-Qur’an dengan kecenderungan yang dimiliki mufasir yang bersangkutan. Para ulama telah mengelompokkan corak yang beragam dalam penafsiran, seperti corak  bahasa (lughawî), filsafat (falsafî), teologi (‘aqîdî), ilmiah (‘ilmî), hukum (fiqhî), tasawuf (shûfî) dan sosial kemasyarakatan (al-adab al-ijtimâ’î).[63]
Untuk melihat corak tafsirnya, misalnya saja corak fiqh dapat disebut bahwa al-Mâwardî tidak terikat dengan satu mazhab, walaupun ia sebenarnya penganut mazhab Syâfi’i. Misalnya, dalam menafsirkan Surat al-Baqarah [2]: 158, al-Mâwardî mengutip banyak pendapat ahli fiqh dari berbagai mazhab berikut:
"فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْهِ أن يَطَّوَّفَ بِهِمَا"، ورفع الجناح من أحكام المباحث دون الواجبات. فذهب أبو حنيفة على أنّ السعي بين الصفا والمروة غير واجب في الحج والعمرة منسكاً بأمرين: أحدهما: قوله تعالى: "فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْهِ أَن يَطَّوَّفَ بِهِمَا" ورفع الجناح من أحكام المباحات دون الواجبات. والثاني: أن ابن عباس وابن مسعود قَرَء: "فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْهِ أَن لاَّ يَطَّوَّفَ بِهِمَا". وذهب الشافعي، ومالك، وفقهاء الحرمين، إلى وجوب السعي في النسكين تمسكاً بفحوى الخطاب ونص السنة، وليس في قوله: "فَلاَ جُنَاحَ" دليل على إباحته دون وجوبه، لخروجه على سبب، وهو أن الصفا كان عليه في الجاهلية صنم اسمه إساف ، وعلى المروة صنم اسمه نائلة... [64]
Dari contoh di atas, al-Mâwardî mengemukakan perbedaan pendapat antara Abû Hanîfah, Syâfi’î, Mâlik, dan ulama fiqh al-haramain tentang persoalan wajib atau tidaknya sa’î dalam haji. Al-Mâwardî memaparkan dalil Abû Hanîfah dari sudut pandang zahir ayat dan dari sudut aspek qirâ’at. Ia tidak melakukan tarjîh (menguatkan satu pendapat atas pendapat yang lain). Hanya saja ia menolak dalil Abû Hanîfah dalam rangka membela pendapat Syafi’i.
Dalam persoalan teologis, misalnya menyangkut tentang perbincangan ayât al-shifah, al-Mâwardî juga berpendirian seperti dalam lapangan hukum Islam, yaitu: tidak terikat pada salah satu paham, bahkan ada kecenderungan membiarkan paham tajassum “berkeliaran” dalam kitabnya. Ini terlihat misalnya ketika menafsirkan QS. al-Furqan (25) : 59 pada lafaz istawā ala al-‘arsy.
"ثُمَّ اسْتَوى عَلَى الْعَرْشِ"، فيه قولان: أحدهما: معناه استوى أمره على العرش، قاله الحسن. والثاني: استولى على العرش، كما قال الشاعر: قد اسْتَوَى بِشْرٌ على العِرَاقِ ... مِن غَيْرِ سَيْفٍ ودم مُهْرَاقٍ. [65]
Dalam tafsir di atas, al-Mâwardî menyebutkan dua pendapat tentang makna istiwâ’, yaitu “استوى أمره” dan “استولى”.  Hanya saja makna yang kedua ada unsur tajassum di dalamnya. Namun al-Mâwardî membiarkan penafsiran ini berada di dalam kitabnya.
8.      KELEBIHAN DAN KEKURANGAN KITAB
a.      Kelebihan Kitab
Berhubung kitab ini hampir sebagian besarnya merujuk kepada tafsir al-Thabarî, maka tidak salah jika kitab ini mempunyai kelebihan sama halnya dengan tafsir al-Thabarî. Kitab tafsir al-Mâwardî termasuk ke dalam kitab terbaik dalam bidang tafsir bi al-ma’tsûr, bahkan dalam bidang tafsir bi al-ra'yi, karena memadukan pendapat-pendapat dan mencari pendapat yang paling kuat, di samping memuat istinbath dan wajah­-wajah i’rab. Jika kitab al-Thabarî dianggap sebagai kitab yang paling agung, paling shahih dan paling lengkap, karena memuat pendapat sahabat dan tabi'in[66], maka tafsîr al-Mâwardî berada pada urutan kedua di bawahnya.
b.      Kekurangan Kitab
Salah satu kekurangan kitab ini adalah bahwa al-Mâwardi telah memasukkan hadis-hadis yang lemah di dalam kitabnya. Ada beberapa hadis yang dikutip oleh Al-Mâwardi dalam kitabnya berkualitas dha’if. Hadis-hadis yang dipandang dha’if tersebut di antaranya:
a)      Hadis dalam penafsirannya terhadap “alif lâm mîm” pada ayat pertama surat al-Baqarah[67]. Dalam menafsirkan ayat ini, ia menyebutkan sebuah riwayat sebagai berikut:
عن الكلبي، عن أبي صالح، عن ابن عباس وجابر بن عبد الله، قال: مَرَّ أبو ياسر بن أخطب برسول الله صلى الله عليه وسلم وهو يتلو فاتحة الكتاب وسورة البقرة: "الم. ذلِكَ الكِتَابُ لاَ رَيْبَ فِيهِ..." [68]
Tentang hadis di atas, para ulama telah sepakat akan kedha’ifannya. Hadis tersebut dipandang dha’if oleh ulama-ulama seperti al-Suyûthi dalam kitab al-Durr al-Mantsûr, al-Syaukâni dalam kitab “Fath al-Qadîr”, Ibnu Katsîr, dan Ahmad Syâkir. Namun al-Mâwardi tampak sengaja membiarkan hadis ini apa adanya, tanpa menjelaskan bahwa hadis-hadis tersebut berkualitas dha’if di dalam kitabnya.[69]
b)      Hadis dalam penafsiran terhadap Surat al-An’âm ayat 125. Hadis tersebut adalah sebagai berikut:
روى عمرو بن مرة عن أبي جعفر قال: سئل رسول الله صلى الله عليه وسلم أي المؤمنين أكْيَس؟ قال: «أَكْثَرُهُم ذِكْراً لِلْمَوتِ وَأَحْسَنُهُمْ لِمَا بَعْدَهُ اسْتِعْدَاداً» قال: وسئل النبي صلى الله عليه وسلم عن هذه الآية: قالوا: كيف يشرح صدره يا رسول الله؟ قال: «نُوْرٌ يُقْذَفُ فَيَنْشَرِحُ لَهُ وَيَنفَسِحُ » قالوا: فهل لذلك أمارة يُعْرَفُ بها؟ قال: «الإِنَابَةُ إِلَى دَارِ الخُلُودِ وَالتَّجَافِي عَنْ دَارِ الغُرورِ وَالاسْتِعْدَادِ لِلْمَوتِ قَبْلَ لِقَاءِ المَوتِ» وروى ابن مسعود مثل ذلك.
Hadis di atas termasuk ke dalam kategori hadis mursal, dan tidak bisa dijadikan hujjah. Namun hal ini dibiarkan begitu saja oleh al-Mâwardi, ia tidak menjelaskan kualitasnya hadisnya, sehingga bisa terjadi kesalahpahaman di kalangan pembaca. Hanya saja, Ibnu Katsîr juga mencantumkan hadis ini dalam kitab tafsirnya, namun ia menjelaskan bagaimana kualitas hadisnya lengkap dengan analisis terhadap sanadnya. Di akhir kesimpulannya, Ibnu Katsir mengatakan bahwa hadis ini ada yang mursal dan ada yang muttashil, maka dapat saling menguatkan satu sama lain.[70]
Ahmad Syâkir menolak pernyataan Ibnu Katsîr ini, karena tidak ditemukan hadis di atas yang muttashil. Hadis tersebut benar-benar dha’if, karena diriwayatkan oleh Abû Ja’far al-Hâsyimî. Ia dinilai sebagai pendusta dan pemalsu hadis, maka semua hadis yang ia riwayatkan tidak dapat saling menguatkan satu sama lain.[71]
c)      Hadis dalam penafsiran terhadap Surat al-A’râf ayat 31:
وقد جاء في الحديث : « أَصْلُ كُلِّ دَاءٍ البردة » ، يعني التخمة. [72]
Hadis di atas dicantumkan oleh al-Mâwardi tanpa sanad. Ahli hadis telah membahas hadis ini, seperti al-Manâwi menyebutkan dalam kitab “Faidh al-Qadîr”,[73] kitab yang mensyarah “al-Jâmi’ al-Shaghîr” karya al-Suyûthi. Al-Manâwi mengatakan bahwa hadis ini dirawayatkan oleh Imam al-Dâruquthni dalam kitab “al-‘Ilal”. Di akhir uraian ia menyatakan hadis ini lemah, sebagaimana al-Suyûthi juga menyatakan demikian. Pendapat ini juga diikuti oleh ulama-ulama lain, seperti Badr al-Dîn al-Zarkasyi, Ibnu al-Jauzi, Abû Hayyân, Ibnu ‘Adiy, dan al-‘Uqaili.
III.   PENUTUP
A.    Kesimpulan
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan beberapa point berikut:
1.      Abû al-Hasan al-Mâwardi merupakan tokoh pewaris terpenting dalam tradisi keilmuan Islam klasik, seperti ilmu hadis, fiqh, politik, ekonomi, bahasa dan sastra, termasuk tafsir al-Qur’an. Dalam bidang tafsir al-Qur’an, al-Mâwardi meninggalkan karya besarnya yang populer dengan nama kitab al-Nukat wa al-‘Uyûn.
2.      Al-Mawardi merupakan penganut fiqh mazhab al-Syâfi`i, maka tafsirnya pun bercorak fiqhî. Di samping itu, kecenderungannya menggunakan rasional dianggap oleh sebagian ulama bahwa ia penganut paham Mu’tazilah, walaupun tidak sepenuhnya benar.
3.      Berdasarkan sumber penafsiran, tafsir al-Mâwardi termasuk ke dalam kelompok tafsir bi al-ma’tsûr, dengan pendekatan tafsir tahlîlî. Kitab ini bercorak fiqhî (hukum) dan ‘aqîdî (teologi).
4.      Walaupun banyak menuai pujian, namun tetap saja ada sebagian ulama yang mngkritik kitab al-Nukat wa al-‘Uyûn. Salah satunya adalah terdapat beberapa hadis yang dipandang dha’if dalam penafsirannya. Setelah diteliti, ternyata apa yang disampaikan oleh pengkritik itu ada benarnya, untuk itu diperlukan kehati-hatian dalam menerima hadis-hadis tersebut bagi pembaca.
B.     Kritik dan Saran
Demikianlah makalah ini penulis sampaikan, semoga bermanfaat dalam menambah wawasan keilmuan bagi pembaca, terutama dalam bidang kajian tafsir. Penulis menyadari bahwa pepatah mengatakan “tak ada gading yang tak retak”. Maka dalam makalah inipun masih terdapat kekurangan dan kesalahan di sana-sini. Untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran dari pembaca demi lebih sempurnanya makalah ini. Wallâhu A’lam.







Tidak ada komentar:

Posting Komentar

AHLAN WA SAHLAN, PUTRIKU...

Jam 2 dini hari, Minggu / 14 September 2014, rupanya si dedek bayi sudah "tidak betah" dalam perut ibunya. Tanda-tanda akan melahi...